Perempuan Korban Kekerasan dalam Perang Anti-Narkoba di Meksiko

Seorang perempuan ambil bagian dalam demonstrasi untuk memperingati Hari Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan di Mexico City (25/11). (Reuters/Carlos Jasso)

Pembunuhan terhadap perempuan telah meningkat 84 persen sampai 2.383 tahun lalu dari 1.298 tahun 2006, menurut data statistik pemerintah.

Denisse Velasco menderita kegelisahan akut sejak musim semi lalu, ketika ia lolos dari penculikan di sebuah jalan yang sibuk di Guadalajara, Meksiko.

Ia sedang menunggu di halte bus suatu pagi ketika seorang pria melompat dari taksi dan mencoba menariknya ke dalam. Velasco menduga ia penjual narkoba yang akan menculiknya untuk meminta tebusan.

"Hal yang sama dapat terjadi lagi kapan saja," ujar Velasco kepada Reuters. "Saya berjalan dengan rute berbeda setiap hari untuk memastikan saya tidak diikuti."

Kisah Velasco umum terjadi di Meksiko, di mana kekerasan terhadap perempuan telah melonjak secara dramatis sejak pemerintah memproklamirkan perang terhadap perdagangan narkoba 10 tahun lalu.

Mantan Presiden Meksiko Felipe Calderon meluncurkan perang garis keras terhadap kartel-kartel narkoba pada Desember 2006, meningkatkan peran militer untuk memperkuat rezim hukum dan ketertiban itu. Lebih dari 170.000 pembunuhan telah dilaporkan sejak perang dimulai.

Serangan itu memecah geng-geng pengedar, menciptakan puluhan geng baru. Hal itu juga memicu sengketa teritorial dan membuat kekerasan lebih marak di Meksiko, menurut para ahli, dengan perempuan semakin menjadi korban.

Pembunuhan terhadap perempuan telah meningkat 84 persen sampai 2.383 tahun lalu dari 1.298 tahun 2006, menurut data statistik pemerintah.

Jumlah korban perempuan yang tewas terutama tinggi di medan-medan perang utama di negara-negara bagian Jalisco, Guerrero dan Meksiko. Guadalajara, tempat serangan terhadap Velasco, adalah ibukota Jalisco, di mana pihak berwenang mengatakan 1.171 anak perempuan dan perempuan dewasa hilang tahun 2015.

Demonstrasi menentang kekerasan terhadap perempuan di Mexico City (19/10).

Pemerintah Meksiko mengakui adanya hubungan antara perang melawan narkoba dan kekerasan terhadap perempuan.

"Ada korelasi kuat antara peningkatan kekerasan terhadap perempuan dan strategi untuk menumpas kejahatan terorganisir," ujar Pablo Navarrete Gutierrez, koordinator urusan legal untuk Institut Nasional Perempuan, badan pemerintah yang berwenang menanggulangi kekerasan dan diskriminasi gender.

"Sejak 2012, kami mulai melihat sedikit penurunan dalam pembunuhan terhadap perempuan, namun jumlah ini tetap mengkhawatirkan. Ini masalah yang serius."

'Kekerasan Misoginis'

Kekerasan itu telah bergaung di masyarakat secara keseluruhan, ujar Maria Guadalupe Ramos Ponce, koordinator untuk Komite Hak-hak Perempuan di Amerika Latin dan Karibia.

"Perang narkoba ini telah menormalisasi kekerasan misoginistis," ujar Ramos Ponce.

Kekerasan terhadap perempuan bentuknya semakin keji, dengan penyiksaan dan pemotongan anggota badan semakin umum, ujarnya.

Sejak perang terhadap narkoba dimulai, penculikan dan pemerasan telah menjadi hal yang umum, dan Human Rights Watch telah menuduh pejabat keamanan Meksiko melanggar hak-hak asasi manusia lewat pembunuhan, penyiksaan dan penghilangan.

Para pengedar narkoba yang baru lebih berniat menyasar korban-korban tak berdosa, menggunakan penculikan dan perdagangan manusia sebagai ancaman dan senjata, menurut para ahli.

Kekerasan ekstrem terutama marak di daerah-daerah miskin. Sebagian besar ahli sepakat bahwa strategi anti-narkoba nasional telah memperburuk kemiskinan, dan memperparah kekerasan terhadap perempuan.

Sebagai contoh, program fumigasi anti-narkoba menghancurkan satu-satunya pendapatan yang tersedia untuk banyak petani opium dan mariyuana, dan mematikan tanaman-tanaman pangan lain.

Kekerasan di Meksiko naik menjadi lebih dari 53 persen tahun 2014, meningkat dari 49 persen tahun 2008, menurut Bank Dunia, peningkatan tertinggi kedua di Amerika Latin setelah Venezuela. Kemiskinan seringkali dikaitkan dengan hubungan yang mengandung kekerasan, karena laki-laki berpaling pada kekerasan sebagai saluran rasa frustasi mereka, dan mitra-mitra perempuan seringkali disasar.

Petugas keamanan juga seringkali melakukan kesalahan terhadap perempuan, menurut Amnesty International, yang melaporkan bahwa polisi dan tentara sering menyiksa tahanan perempuan, dengan impunitas hampir total.

"Pendekatan keamaan saat ini melihat perempuan sebagai barang yang dapat dibuang begitu saja. Otoritas seringkali menangkapi perempuan secara massal untuk menggelembungkan data," ujar Madeleine Penman, peneliti Amnesty di Meksiko.

Perempuan-perempuan itu seringkali dituduh atas kejahatan tanpa bukti. Dari 100 perempuan yang diwawancara untuk laporan Amnesty, 93 mengatakan mereka dipukul atau disiksa saat ditahan dan 33 mengatakan mereka diperkosa.

Menteri Pertahanan Meksiko pada bulan April minta maaf setelah ada bocoran video yang menunjukkan tentara dan polisi menutup kepala seorang tersangka perempuan dengan tas plastik sampai sesak napas.

Penman mengatakan ia menyambut permintaan maaf itu, tapi itu belum cukup.

"Untuk menghormati hak asasi manusia di Meksiko, pemerintah perlu membuat road map untuk mendemiliterisasi keamanan publik," ujar Penman. “Kami kira ini waktunya untuk melakukan pembicaraan itu. [hd]