Lewat akun Instagramnya, perempuan berusia 24 tahun ini bercerita tentang pengalamannya diterima kedua universitas untuk program S2 – Harvard jurusan Pendidikan, dan Stanford jurusan Administrasi Bisnis.
“Rasanya seperti mimpi,” tulis Maudy. “Aku diingatkan sekali lagi bahwa impian, ketika diurai sebagai sejumlah tujuan yang konkret, bisa menjadi rencana yang terwujudkan.”
Setelah berbagi cerita tentang pengalamannya diterima Harvard, Maudy kembali mengunggah foto dengan memakai kaos Stanford.
“Sekarang aku sedang menghadapi dilema yang indah,” lanjutnya. “Sejujurnya aku tidak mengira bisa diterima (Stanford). Tingkat penerimaan mahasiswa barunya sangat rendah.”
Kedua unggahan Maudy kini telah mendapatkan total lebih dari 750.000 likes dan 19.000 komen.
Netizen: Dari Pujian, Kritik, Hingga ‘Bingung Pilih Gorengan’
Netizen pun ramai membicarakan Maudy di media sosial. Nama Maudy Ayunda sempat menjadi salah satu trending topic di Twitter dengan total pembicaraan melebihi 88.000 cuitan.
Sejumlah netizen menobatkan Maudy sebagai “idola anak milenial” dan sebagai “definisi dari kecantikan dan kecerdasan”
Sungguh bibit unggul maudy ini, disaat yg lain sibuk hidup hedon, dia sibuk belajar.. anak muda seperti maidy ini yg harus dijadikan idola anak anak milenial jaman skr. Sebagai sesama perempuan bangga banget pnya perempuan muda indonesia kaya maudy
— Iswati rahma dewi (@jarathustra) March 4, 2019
another level of sexy women! Maudy Ayunda is the real definition of beauty and brain 💯💯 pic.twitter.com/eclaDwaFFY
— namaku (@citraandjani) March 4, 2019
Namun, dilema Maudy memilih dari dua universitas besar itu juga sempat menjadi bahan debat di kalangan netizen.
Ada yang mengkritik Maudy bisa mendapatkan kesempatan ini karena privilege atau hak keistimewaan, karena ia lahir dari keluarga berada dan bisa mendapatkan akses pendidikan yang baik.
Prestasi yang wajar dicapai oleh seseorang dengan modal prima seperti mba maudy .. ibarat lahir sudah punya nilai 5 . untuk mencapai ke 10 . tinggal nambah 5 buat jd sempurna seperti sekarang. semangat buat netizen d kolom komen . dari -5 paling enggak capailah nilai 3 .
— Oktarima Firmanda PB (@RimArema) March 4, 2019
sanjungan terhadap Maudy memang wajartapi kadang orang melupakan previlege2 yang ia milikiseperti orangtua yanh terdidikdan keluarga dengan finansial yang stabil.
— Dinesour (@Dinesourr) March 4, 2019
Reaksi netizen pun bermacam-macam, seperti @meiranzr yang bilang, “Cukuplah kagum, tapi jangan dibanding-bandingkan.”
punya juga temen kayak maudy ayunda, cantik iya, berotak iya, ekonomi sejahtera , keluarga harmonis, kisah cinta penuh kepastian. sampe mikir apa coba yg kurang dalam hidupnya. tapi cukuplah kagum, no comparison; setiap orang dengan jalan hidupnya masing masing, tetap bersyukur
— M R (@meiranzr) March 4, 2019
Sementara @itsmessymesa mengatakan, "Kita tahu hak keistimewaan itu nyata, tapi sukses tidak bisa tercapai tanpa kerja keras dan komitmen.”
I must say, Maudy Ayunda is an embodiment of perfection. Many have what she has: money, fame, good-looking face, but only few choose to use privilege to shine like she does. We acknowledge privilege does exist, but nothing brings you up to the hill without hard work & commitment.
— Anonymous (@itsmessymesa) March 4, 2019
Meski begitu, topik dilema Maudy juga membawa tawa di linimasa Twitter.
Banyak netizen yang menggunakan tagar #MaudyAyundaBingung untuk berbagi dilema di hidup mereka masing-masing – dari gorengan hingga percintaan.
#MaudyAyundaBingung pilih universitas, gue bingung beli gorengan 5 rebu bakwan ato tempenya yg dibanyakin.
— NurrohmAt Rifki A (@nararifki) March 4, 2019
#MaudyAyundaBingung pilih universitas.Saya juga bingung klo pas beli pulsa, saya nyebutin nomor tplnnya per 4 angka, eh penjual pulsanya nyebut+ngulang nomor tlpnnya per 3 angka.
— Roni Rusyana (@roni_namaku) March 4, 2019
#MaudyAyundaBingung milih universitas, kalo gue bingung kenapa ga ada yang milih
— top global gimik (@andess_putra) March 4, 2019
Seberapa Sulitnya Masuk Harvard dan Stanford?
Universitas Harvard dan Stanford sering masuk 10 besar universitas terbaik di dunia. Harvard menduduki posisi #1 dan Stanford #3 dalam daftar universitas terbaik global US News & World Report.
Harvard adalah salah satu universitas yang tergabung dalam Ivy League – nama yang digunakan untuk merujuk 8 universitas swasta bergengsi di kawasan Timur Laut Amerika Serikat.
Sementara Stanford kerap disebut sebagai ‘Harvard di Pesisir Barat Amerika Serikat.’
Maudy diterima program S2 jurusan Pendidikan di Harvard Graduate School of Education (HGES). Menurut Peterson’s, tingkat penerimaan mahasiswa baru untuk program tersebut 54%.
Mahasiswa asing hanya mencakup 24% dari seluruh mahasiswa baru HGES tahun akademis 2018/2019.
Di Stanford, Maudy dapat tawaran untuk mendapatkan gelar S2 Bisnis Administrasi. Tingkat penerimaan mahasiswa baru Stanford Graduate School of Business untuk tahun akademis 2018/2019 kurang dari 6%, tersulit di AS menurut US News.
Mahasiswa asing mencakup 41% dari total mahasiswa baru Stanford Graduate School of Business.
Universitas Ternama Bukan Hal Baru Bagi Maudy
Sebelum mendapat tawaran dari dua universitas paling bergengsi di dunia, Maudy pernah meraih gelar dari universitas ternama dunia lainnya.
Ia lulus dari program S1 Filosofi, Politik, dan Ekonomi (PPE) dari Universitas Oxford di Inggris tahun 2016 lalu. Menurut US News, Universitas Oxford menduduki peringkat #5 universitas terbaik di dunia.
Usai kelulusan, ia kembali ke Indonesia menjadi aktivis kemanusiaan dan pendidikan. Maudy sempat berbicara terkait gerakan melawan perbudakan modern di Istana Wakil Presiden.
Maudy Ayunda, Gita Gutawa, dan Tasya Kamila adalah sederet artis yang patut dijadikan inspirasi. Sumpah, salut banget. Parah.
— SHL⇞ (@soundofreverie_) March 4, 2019
Maudy kini menjadi salah satu selebriti Indonesia yang dipuji netizen sebagai “inspirasi” untuk warga Indonesia.
Sebelumnya, netizen memuji mantan penyanyi cilik Tasya Kamila setelah ia lulus S2 dari Universitas Columbia di New York.
Selebriti juga ramai diberi selamat atas prestasi akademis mereka di antaranya: Vidi Aldiano (S2 Universitas Manchester, Inggris), Sherina Munaf (S1 Universitas Sydney dan kursus bahasa intensif di Jepang), dan Gita Gutawa (S2 di London School of Economy). [np/dw]