Mahkamah Agung Australia, Rabu (10/2) menguatkan undang-undang yang dapat menahan para ekstremis di penjara setelah mereka selesai menjalani masa hukuman.
Lima dari tujuh hakim di pengadilan tertinggi itu menolak gugatan konstitusional yang diajukan terpidana teroris Abdul Benbrika yang tetap di penjara negara bagian Victoria meskipun hukuman 15 tahun penjaranya telah berakhir pada November tahun lalu.
Ulama Muslim berusia 60 tahun itu adalah orang pertama yang ditahan berdasarkan perintah penahanan berkelanjutan yang ditetapkan dalam undang-undang antiteror yang dibuat pada 2017.
Australia memberlakukan undang-undang tersebut karena jumlah ekstremis yang ditahan di penjara terkait dakwaan terkait teror meningkat sementara kekhawatiran publik kian berkembang bahwa beberapa dari tahanan yang paling ditakuti mendekati akhir masa hukuman mereka.
Undang-undang tersebut menarget “pelaku teroris berisiko tinggi” yang mungkin melakukan pelanggaran serius jika dilepaskan ke masyarakat.
Pemerintah telah dituduh menginjak-injak HAM dan kebebasan pers dengan mengubah undang-undang keamanan nasionalnya itu sebagai tanggapan atas ancaman yang berkembang yang ditimbulkan oleh para ekstremis Muslim seperti kelompok ISIS.
Benbrika dihukum pada tahun 2009 karena menjadi salah satu pemimpin kelompok teroris. Ia adalah satu dari 12 pria di Melbourne dan Sydney yang dihukum karena terlibat dalam rencana serangan terhadap berbagai target, termasuk perdana menteri saat itu dan pertandingan football di Melbourne. Serangan-serangan itu sendiri tidak terlaksana.
Berdasarkan undang-undang tahun 2017, narapidana yang dihukum karena pelanggaran teror dapat ditahan selama tiga tahun setelah masa hukuman mereka jika hakim mengabulkan permohonan pemerintah federal untuk perintah penahanan.
Perintah semacam itu dapat diperbarui setelah tiga tahun jika narapidana dianggap terus menimbulkan ancaman publik. [ab/uh]