Laporan Inggris mengenai Perang Irak; Para Pemimpin Barat Pertahankan Sikap

Pemipin penyelidikan John Chilcot mengkritik peran Inggris dalam invasi Irak.

Mantan perdana menteri Australia Kamis (7/7) bergabung bersama para pemimpin Barat lainnya dalam mempertahankan keputusan mereka untuk terlibat dalam perang di Irak 13 tahun silam.

John Howard, yang menjabat perdana menteri sewaktu Australia mengirimkan 2.000 tentara untuk bergabung dengan pasukan koalisi pimpinan Amerika dan Inggris, mengatakan ia membela keputusan itu. Berdasarkan informasi yang ia terima, ia yakin keputusan itu tidak keliru.

Invasi terhadap Irak pada tahun 2003 dianggap “tidak perlu,” dan diktator Irak Saddam Hussin dianggap bukan “ancaman langsung” terhadap Inggris maupun negara-negara kuat Barat lainnya, sebut laporan resmi yang telah lama ditunggu-tunggu mengenai keterlibatan Inggris dalam Perang Irak.

Penyelidikan yang dipimpin John Chilcot itu, mantan pegawai sipil senior Inggris, banyak menyalahkan politisi, pejabat intelijens, diplomat dan para jenderal atas peran mereka dalam invasi Irak dan atas pelaksanaan operasi militer bertahun-tahun oleh pasukan Inggris, terutama di bagian selatan Irak.

Dalam pernyataannya yang pedas, Chilcot mengatakan dalam konferensi pers di London bahwa perencanaan dan pelaksanaan intervensi militer itu tidak sempurna dan berlangsung sangat buruk dengan dampak yang terus dirasakan hingga sekarang. Ia mengacu pada berbagai serangan bom bunuh diri belakangan ini di ibukota Irak, Baghdad, yang menewaskan lebih dari 250 orang.

Chilcot mengatakan bahwa kesimpulannya, Inggris bergabung dalam invasi terhadap Irak itu sebelum pilihan-pilihan damai bagi gencatan sencata senjata habis. Aksi militer ketika itu bukanlah pilihan terakhir, ujarnya.

Sementara ketua tim penyelidik itu menjelaskan berbagai aspek luas mengenai laporan tersebut, para wartawan terus mmeriksa bukti dan temuan-temuan yang dimuat dalam laporan 13 jilid itu. Sebagian besar laporan Chilcot berfokus pada landasan hukum dan justifikasi intelijen bagi invasi. Laporan itu mengritik perdana menteri Inggris ketika itu, Tony Blair, para menterinya dan dinas intelijen, dengan mengatakan justifikasi mereka untuk menginvasi Irak sangat tidak memuaskan.

Dalam menjelaskan keputusannya untuk bergabung dengan Amerika Serikat dalam intervensi itu, Blair memberitahu parlemen Inggris bahwa Irak memiliki senjata biologi dan kimia. Klaim itu penting dalam membujuk mayoritas legislator Inggris agar mendukung keikutsertaan negara itu dalam menggulingkan Saddam Hussein.

Hari Rabu, Blair mengaku bertanggungjawab karena melibatkan Inggris dalam perang, dengan menyatakan kesedihan, penyesalan dan permintaan maaf yang sangat besar. Namun ia bersikeras bahwa dunia menjadi lebih baik karena disingkirkannya Saddam. [uh/ab]