Jurnalis Perempuan Kerap Menjadi Sasaran Utama Perundungan Daring

Mona Khan, seorang jurnalis perempuan lepas, melakukan wawancara saat demonstrasi, di Islamabad, Pakistan pada 2020. (Foto: AP)

Para jurnalis perempuan menghadapi ancaman yang lebih besar secara daring dalam menjalankan tugas mereka. Tren tersebut terlihat semakin terus meningkat, kata seorang pakar dalam sebuah konferensi internasional di Italia pada akhir pekan ini.

"Ada potensi besar bahwa kekerasan daring berkembang menjadi kekerasan di dunia nyata," kata kata Julie Posetti, Direktur Riset Pusat Jurnalis Internasional (ICFJ).

“Perempuan cenderung menghadapi ancaman yang lebih besar secara daring,” katanya kepada para delegasi di Festival Jurnalisme Internasional Perugia pada Sabtu (20/4). Dan, tambahnya, “jenis ancaman yang mereka hadapi (juga) semakin meningkat”.

Dia menambahkan bahwa lingkungan yang tidak sehat tersebut "difasilitasi oleh perusahaan-perusahaan teknologi raksasa". Posetti juga menuduh mereka "gagal bertanggung jawab".

Dalam studi bersama UNESCO/ICFJ pada 2022, hampir tiga perempat dari jurnalis perempuan yang diwawancarai mengatakan bahwa mereka pernah mengalami kekerasan atau pelecehan daring terkait dengan pekerjaan mereka. Mereka melakukan wawancara dengan 900 jurnalis dari 125 negara.

Seorang pria di Teheran, pada 30 Oktober 2022, memegang salinan surat kabar Hammihan, dengan di sampulnya terdapat judul yang menyebutkan pernyataan asosiasi jurnalis Teheran, yang mengkritik penahanan dua jurnalis oleh pihak berwenang. (Foto: AP)

Menurut konferensi tersebut, serangan daring mencakup penghinaan, komentar seksis dan seksual, serta ancaman fisik, termasuk ancaman pembunuhan terhadap jurnalis dan keluarga mereka.

Serangan yang semakin canggih mencakup pemblokiran akun, peretasan, penyebaran foto pribadi, dan menciptakan "deepfake" atau manipulasi gambar atau video untuk membuat gambar seksual palsu seseorang tanpa persetujuan mereka.

Ancaman kekerasan cenderung meningkat ketika dikombinasikan dengan diskriminasi berdasarkan warna kulit, agama, atau orientasi seksual.

Kekerasan Fisik

Posetti dan dua peneliti lainnya menyusun pedoman dan alat bantu terkait topik tersebut yang ditujukan kepada jurnalis, bekerja sama dengan Organisasi untuk Keamanan dan Kerja Sama di Eropa (Organization for Cooperation and Security in Europe/OSCE).

Jurnalis Filipina Maria Ressa, penerima Hadiah Nobel Perdamaian 2021, pernah menjadi korban pelecehan daring, sebagaimana dijelaskannya dalam laporan ICFJ-UNESCO.

BACA JUGA: Netanyahu akan Tutup Jaringan Berita Al-Jazeera di Israel

"Selama dua dekade saya menjadi koresponden perang CNN, tetapi tidak ada yang mempersiapkan saya di lapangan untuk menghadapi serangan misoginis yang terencana terhadap saya dan outlet berita kami yang dipimpin oleh perempuan, Rappler," ungkapnya.

Misoginis adalah ungkapan kebencian, ketidaksukaan atau diskiriminasi terhadap kaum perempuan

Marianna Spring, seorang spesialis disinformasi dari BBC, mendapat banyak cuitan yang bernada merendahkan pada tahun lalu, termasuk ancaman penculikan atau kekerasan terhadap dirinya.

Sebagian besar pelecehan terjadi setelah penyelidikan terhadap pengambilalihan jaringan media sosial X, yang pada saat itu lebih dikenal sebagai Twitter.

Dalam beberapa kasus, ancaman daring dapat berubah menjadi kekerasan fisik.

Wajiha Khanian, seorang jurnalis perempuan dari saluran TV lokal Dawn News, melakukan wawancara di Islamabad. (Foto: AP)

Seperlima perempuan yang disurvei mengatakan mereka pernah mengalami serangan atau penghinaan dalam kehidupan nyata yang terkait dengan pelecehan daring.

Konsekuensinya bisa sangat luas, beberapa jurnalis berpotensi dilarang meliput topik-topik sensitif dan beberapa bahkan memilih untuk berhenti dalam industri tersebut.

Reporters Without Borders (RSF), sebuah organisasi penggiat hak asasi media yang berbasis di Paris, memperingatkan bahwa jenis pelecehan ini merupakan ancaman baru terhadap kebebasan pers.

Langkah Antisipasi

Jurnalis Prancis Nadia Daam mengungkapkan kepada AFP bahwa pada 2017, ia dibanjiri berbagai pesan berisi kebencian setelah menulis kolom yang mengkritik sebuah forum daring.

Sejak itu, dia memilih untuk berpindah rumah dua kali dan cenderung menjauhi media sosial. Namun, dia masih menerima pesan perundungan di dunia maya dan "tidak lagi melihat hal yang sama".

BACA JUGA: Tindakan Keras terhadap Media Berlanjut, Taliban Penjarakan Seorang Wartawan

Namun, menurutnya, saat ini ada kesadaran yang lebih besar tentang masalah tersebut. Dia yakin bahwa industri secara umum "lebih banyak membahas tentang pelecehan dunia maya", dengan hukuman yang lebih berat.

Pekerja lepas Melina Huet yang meliput perang di Ukraina serta konflik Israel-Hamas juga sering mendapat ancaman daring terkait liputannya.

“Saya menerima ancaman pemenggalan kepala dan pemerkosaan di Instagram,” katanya. “Pelaku bisa dengan mudah membuat ulang akun, tidak ada hukuman.”

Beberapa media mencoba untuk menerapkan protokol sebagai upaya mengatasi penindasan dunia maya.

Jessica Ziegerer, jurnalis investigasi untuk harian HD Sydsvenskan juga sering menerima pesan yang tidak bersahabat.

“Sebelum menerbitkan artikel sensitif, kami mengadakan pertemuan dengan pakar keamanan dan meninjau semua aspek” baik daring maupun luring, katanya. [ah/ft]