Iran, Rabu (26/12), mengatakan "tidak ada hal baru" dalam laporan Badan Energi Atom Internasional (IAEA) yang menyatakan Teheran baru-baru ini mempercepat produksi uranium yang diperkaya setelah berbulan-bulan mengalami perlambatan.
“Kami tidak melakukan hal baru dan aktivitas kami sesuai dengan peraturan,” kata pejabat tinggi nuklir Iran Mohammad Eslami.
“Kami memproduksi pada tingkat kemurnian yang sama, yakni 60 persen. Kami tidak mengubah apa pun dan tidak menciptakan kapasitas baru,” imbuhnya.
Eslami mengkritik apa yang disebutnya sebagai "kegilaan media" terhadap laporan terbaru IAEA, dan mengatakan bahwa laporan tersebut "berusaha mengalihkan perhatian publik" dari perang di Gaza
Pada hari Selasa, IAEA merilis laporan yang mengatakan Iran "meningkatkan produksi uranium yang diperkaya, mengubah keputusan untuk mengurangi produksi seperti yang dijanjikan pada pertengahan tahun 2023."
Iran telah meningkatkan produksi uranium yang diperkaya 60 persen menjadi sekitar sembilan kilogram per bulan sejak akhir November, kata badan pengawas PBB itu.
Jumlah tersebut naik dari sekitar tiga kilogram per bulan sejak bulan Juni, dan kembali ke sembilan kilogram per bulan yang diproduksi selama paruh pertama tahun 2023.
Tingkat pengayaan yang lebih tinggi, yaitu sekitar 90 persen, diperlukan untuk digunakan dalam senjata nuklir.
Iran secara konsisten membantah ambisinya untuk mengembangkan kemampuan senjata nuklir, dan bersikeras bahwa aktivitasnya itu sepenuhnya untuk tujuan damai.
Iran sebelumnya memperlambat proses pengayaan uraniumnya untuk menunjukkan adanya niat baik, sementara perundingan informal untuk pemulihan perjanjian nuklir dilanjutkan dengan Amerika Serikat.
Namun permusuhan antara kedua negara semakin meningkat dalam beberapa bulan terakhir, dan masing-masing negara saling menuduh memperburuk perang antara Israel dan Hamas.
Iran menangguhkan kepatuhannya terhadap batasan aktivitas nuklir yang ditetapkan dalam perjanjian nuklir tahun 2015 dengan negara-negara besar, setahun setelah Presiden Donald Trump secara sepihak menarik AS keluar dari perjanjian tersebut pada tahun 2018 dan menerapkan kembali sanksi besar-besaran.
Sejak itu, negara tersebut telah menambah stok uranium yang diperkaya hingga 22 kali lipat dari tingkat yang diizinkan berdasarkan kesepakatan tersebut, menurut laporan rahasia IAEA yang dilihat oleh kantor berita AFP bulan lalu. [ab/ka]