Insiden Freeport Ancam Keamanan Investasi

  • Iris Gera

Para pekerja Freeport berdemontrasi di dekat kantor Freeport di Kuala Kencana, Timika, Senin (11/4). Mereka menolak kembali bekerja, sampai ada jaminan bagi keselamatan mereka setelah serangan terhadap karyawan pekan lalu.

Insiden penembakan untuk kesekian kalinya terhadap karyawan PT. Freeport Indonesia di Timika, Papua, menurut pemerintah bisa mengancam keamanan dalam berinvestasi. Sementara itu, pengamat memandang insiden di Freeport juga menunjukkan ketidakmampuan pemerintah merealisasikan kerjasama usaha tambang dengan pihak asing, dalam hal ini AS.

Pekan lalu, Rabu (6/4), terjadi aksi penembakan misterius di kawasan Freeport yang menyebabkan dua karyawan mengalami luka-luka. Esok harinya penembakan kembali terjadi menyebabkan dua karyawan Freeport tewas. Sejak insiden tersebut para karyawan resah bahkan melakukan aksi unjuk rasa menuntut jaminan keamanan pemerintah daerah dan berharap pelaku penembakaan dapat segera ditangkap. Insiden serupa juga terjadi beberapa kali sejak 2009.

Manajemen kampanye Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Hendrik Siregar tidak sependapat jika pihak kepolisian Republik Indonesia menyatakan insiden penembakan yang berulangkali terjadi di Freeport dilakukan oleh kelompok separatis.

“Konteksnya tidak terlepas dari bisnis keamanan, perebutan antara pihak yang memiliki kekuatan senjata untuk bisa mengamankan Freeport itu sendiri," ujar Hendrik Siregar.

Hendrik Siregar menambahkan pemerintah harus mampu bekerjasama dengan pihak Freeport untuk tidak menempatkan tentara atau polisi sebagai pengaman perusahaan. Karena menurutnya langkah tersebut justru akan memancing pihak-pihak lain yang juga merasa berkuasa.

Hendrik Siregar juga berpendapat sampai saat ini keberadaan Freeport masih terus mengundang pro dan kontra mulai dari masalah lingkungan, keamanan hingga pengaruh terhadap perekonomian Indonesia terutama Papua. Ia menambahkan sudah saatnya pemerintah dan Freeport mencari upaya bersama agar Freeport dapat diterima seluruh pihak.

“Pada faktanya, ada kesenjangan sosial. Saya pikir satu yang musti dilakukan adalah renegosiasi kontrak, keuntungan yang didapat oleh negara sendiri musti diukur dulu, sejauh mana sebenarnya Freeport terbukti memberikan nilai lebih terhadap ekonomi Indonesia, khususnya dalam masyarakat sekitar,” kata Hendrik.

Tapi, menurut pengamat pertambangan dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Irwandy Arif, di negara mana pun, lazim terjadi kesenjangan sosial di lokasi industri. Pemerintah, Irwandy menambahkan, harus mampu menjadi mediator agar masyarakat dapat merasa aman dan nyaman berada di sekitar lokasi industri mulai dari masalah ekonomi hingga lingkungan. Ia menilai meski masih ada beberapa kekurangan, tapi Freeport sudah patuh menjalankan kewajiban-kewajibannya. Ia mencontohkan program Freeport yang menyisihkan keuntungan satu persen untuk diberikan kepada masyarakat sekitar.

Sementara itu, dalam siaran pers dari Freeport Indonesia, selama 2010 Freeport Indonesia sudah menyetor kewajiban pembayaran kepada pemerintah sekitar Rp 11,8 trilyun. Kewajiban tersebut terdiri dari Pajak Penghasilan Badan, Pajak Penghasilan Karyawan, Pajak Daerah, deviden dan royalti. Dengan tingginya harga emas dunia, setoran tahun ini ditargetkan akan naik.