Indonesia Belum Miliki Mekanisme Perlindungan Saksi dan Korban Kasus Kejahatan

  • Muliarta

Meski sudah ada undang-undangnya di Indonesia, mekanisme perlindungan saksi dan korban terutama untuk kejahatan terorganisir belum ada.

Menurut Dirjen HAM Prof. Harkristuti Harkrisnowo, ini khususnya terjadi pada perlindungan saksi dan korban pada kasus-kasus kejahatan yang terorganisir.

Indonesia hingga saat ini belum memiliki mekanisme perlindungan saksi dan korban untuk kasus-kasus kejahatan yang terorganisir. Terutama mekanisme mengenai perlindungan saksi dan korban terhadap anak-anak dan perempuan. Walaupun pada dasarnya Indonesia telah memiliki undang-undang perlindungan saksi dan korban.

Dirjen Hak Asasi Manusia (HAM) Kementrian Hukum dan HAM, Prof Dr. Harkristuti Harkrisnowo pada keteranganya di sela-sela workshop regional Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban di Sanur Bali pada Senin siang mengatakan belum adanya mekanisme yang jelas mengenai perlindungan saksi dan korban khususnya untuk kasus kejahatan yang terorganisir menyebabkan keengganan saksi maupun korban untuk memberikan keterangan yang diperlukan untuk pengusutan.

Profesor Harkristuti menegaskan belum adanya mekanisme yang jelas mengenai perlindungan saksi dan korban khususnya untuk kasus kejahatan yang terorganisir ini sebagai akibat belum adanya pembagian tugas dan wewenang yang jelas antar lembaga. Apalagi selama ini kasus yang dihadapi lembaga perlindungan saksi dan korban di Indonesia merupakan kasus kejahatan kelas rendah seperti kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

“Tetapi begitu kasus kelas tinggi yang masuk saya kira kebutuhan untuk kerjasama yang lebih intensif dengan polisi diperlukan. Kemudian bagaimana untuk meminta polisi kemudian yang membayar siapa? Masalah juga,” ungkap Profesor Harkristuti.

Prof Dr. Harkristuti Harkrisnowo dalam acara workshop workshop regional Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban di Sanur Bali (29 November 2010).

Sedangkan Ketua Lembaga Perlidungan Saksi dan Korban (LPSK) Abdul Haris Semendawai menyatakan LPSK membutuhkan waktu lima tahun untuk menyiapkan mekanisme dan sumberdaya perlindungan saksi dan korban dalam menghadapi kasus-kasus kejahatan yang terorganisir.

“Tentunya butuh waktu yang cukup panjang, tetapi saya kira lima tahun pertama aparat penegak hukum semakin banyak yang memahami tentang itu, dan juga bentuk-bentuk kerjasama dan perlindungan saksi yang lebih kongkrit,” kata Abdul Haris Semendawai.

Abdul Haris menambahkan selain membutuhkan waktu untuk menyiapkan mekanisme dan sumber daya, LPSK juga masih membutuhkan waktu hingga lima tahun lagi untuk melakukan sosialisasi dikalangan penegak hukum. Ini dilakukan untuk menyatukan persepsi dalam hal implementasi terhadap perlindungan saksi dan korban.