Dalang Terakhir Berjuang Selamatkan Wayang Suriah

Shadi al-Hallaq, dalang wayang Suriah memainkan dua wayang dalam sebuah pertunjukan di Damaskus, Suriah, 3 Desember 2018.

Wayang Suriah hampir musnah akibat gempuran pertunjukan modern dan perang berkepanjangan. Dalang terakhir wayang Suriah pun hampir putus asa. Tapi ada secercah harapan. Pekan lalu, UNESCO memasukkan wayang Suriah dalam daftar Warisan Dunia Tak Berwujud (Intangible).

Dalang wayang Suriah yang terakhir di Damaskus kehilangan sebagian besar peralatan mendalangnya akibat perang dan harus hidup sebagai pengungsi di Lebanon. Tetapi sekarang dia percaya seni tua Suriah itu akan bertahan setelah PBB mengatakan wayang Suriah perlu diselamatkan.

Wayang tradisional Suriah biasanya menjadi pertunjukan wajib di kafe-kafe di Damaskus. Para dalang memainkan wayang dari kulit binatang untuk menghibur para pengunjung dengan dongeng-dongeng, satir, lagu-lagu dan pantun.

Pekan lalu badan budaya PBB, UNESCO, memasukkan wayang Suriah dalam daftar Warisan Dunia Tak Berwujud (Intangible) yang mendesak untuk diselamatkan karena mulai pupus tergerus pertunjukkan modern dan perang.

BACA JUGA: Permainan Anak-anak 'Jadul' Mulai Diminati Lagi

“Sampai tiga atau lima hari lalu, wayang Suriah hanya seni yang tidak membeli roti. Sekarang kami berpikir untuk membeli dan makan roti..Saya berharap untuk yang lebih baik,” kata Shadi al-Hallaq, dalang terakhir wayang Suriah.

Waktu dia mulai mendalang di masa remaja pada 1993, wayang tradisional Suriah sudah hamper dilupakan. Keluarganya khawatir wayang tidak bisa memberinya penghidupan yang layak.

Hallaq mulai menghidupkan kembali wayang tradisional dari buku-buku cerita dan sejarah lama. Bahkan dia membuat sendiri wayang-wayangnya menggunakan kulit unta, sapi, atau keledai. Setiap karakter wayang mewakili perilaku tertentu.

Shadi al-Hallaq, dalang wayang Suriah, bersama anak-anak saat pertunjukan untuk anak-anak difabel di Suriah, 3 Desember 2018.

Dalam pertunjukan yang baru berlangsung, Hallaq menggunakan layer tembus pandang, yang dilukis mirip sebuah gang di Kota Tua Damaskus. Layar itu digunakan untuk menceritakan kisah tentang para pedagang jahat. Ada dua karakter utama, yaitu Karakoz yang lugu dan Aywaz yang bijaksana.

Dua wayang ini, yang dimainkan dengan batang dari belakang layar yang disorot lampu agar bayangnya muncul di tirai, adalah dua wayang miliknya yang masih tersisa.

Pada awal perang, Hallaq kehilangan satu set teater kelilingnya dan 23 karakter yang dibuat dengan tangan saat konflik senjata berkobar di timur Ghouta, di luar Damaskus.

BACA JUGA: Pagelaran Wayang Kulit Yogyakarta di Universitas Yale, AS

Dia melarikan diri dari peperangan dengan menyeberang perbatasan menuju Lebanon dan bekerja sebagai buruh di sana.Saat di Lebanon, kadang-kadang dia mengadakan pertunjukan untuk murid-murid sekolah Suriah. Pada saat mengadakan pertunjukan itulah, para pejabat UNESCO untuk pertama kali memperhatikan Hallaq.

Sekarang kembali ke Damaskus, Hallaq akan mulai mengajar satu kelompok calon dalang dalam enam bulan mendatang untuk memastikan seni itu bertahan, kata Rasha Barhoum, pejabat kebudayaan Suriah.

“Saya bisa membayangkan betapa bahagianya orang-orang nanti melihat seni itu masih bertahan hidup dan tidak hilang karena menjadi bagian warisan dan budaya kami,” kata Hallaq. [ft/au]