BPPT: Indonesia Bergantung pada Bahan Bakar Impor Hingga 2030

  • Wella Sherlita

Kapasitas pembangkit listrik dan pemanfaatan listrik di Indonesia akan naik lebih dari enam kali lipat pada tahun 2030 (foto: dok).

Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) memperkirakan bahwa pada tahun 2030 Indonesia masih tetap bergantung pada bahan bakar impor, yang berarti bahwa pemanfaatan energi terbarukan belum maksimal.

Sepanjang tahun 2011, banyak upaya yang berhasil dicapai oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) di bidang teknologi energi bersih. Bekerjasama dengan PT Pindad dan PT Nusantara Turbin dan Propulsi (NPT), BPPT telah berhasil membuat turbin dan generator untuk pembangkit listrik tenaga panas bumi (geothermal).

Hal ini diungkapkan Deputi Kepala BPPT Bidang Teknologi Informasi, Energi, dan Mineral, DR. Unggul Priyanto, di Jakarta, Selasa. Selain itu, BPPT juga telah merancang pembangkit listrik tenaga surya untuk daerah Sumba Barat Daya, dengan menggunakan teknologi “smart grid”, yang mengkombinasikan sumber energi terbarukan lainnya seperti angin dan air.

Ironisnya, DR. Priyanto mengatakan, bahwa di masa depan akan ada lonjakan besar yang tidak terhindari pada penggunaan energi fosil (minyak bumi dan batubara) serta listrik.

“Penggunaan minyak bumi naik hampir tiga kali dari 865 juta satuan barel minyak pada 2009 menjadi satu juta satuan barel minyak pada 2030. Kemudian kapasitas pembangkit listrik naik 600 persen, dari 34 gigawatt menjadi 180 gigawatt, dan pemanfaatan listrik naik 660 persen, dari 134 terrawatt jam (TWH) menjadi 890 terrawatt jam," papar Unggul Priyanto.

Alih-alih menurun, penggunaan energi batubara di masa depan justru mendominasi. Demikian halnya dengan konsumsi BBM impor. Prediksi ini menunjukkan bahwa Indonesia belum akan sepenuhnya mandiri dan bebas dalam produksi dan penggunaan energi baru dan terbarukan (EBT), yang lebih bersih lingkungan.

Unggul Priyanto menambahkan, “Kemudian di masa depan, tahun 2030 ternyata konsumsi BBM tetap tinggi yaitu 850 juta barel artinya ketergantungan terhadap impor BBM 600 juta barel; minyak mentah 380 juta barel, elpiji 9 juta ton, dan dominasi penggunaan batubara untuk PLTU 75 persen dari total 480 juta ton per tahun. Peran EBT (Energi Baru dan Terbarukan) ternyata belum sesuai target tahun 2006, jadi diperkirakan tahun 2030 hanya mencapai 13,7 persen. Ini prediksi berdasarkan kondisi yang ada sekarang.”

Siti Maemunah dari JATAM

Sementara, aktivis Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Siti Maemunah, kepada VOA, mengatakan bahwa pemerintah Indonesia harus merumuskan ulang peta produksi dan pemanfaatan energi baru dan terbarukan. Ada kesan bahwa strategi yang digunakan saat ini adalah keruk cepat dan jual habis, kata Maemunah, termasuk di dalamnya keterlibatan DPR saat merumuskan UU Mineral dan Sumber Daya Alam bersama pemerintah.

Ia menggarisbawahi persoalan tambang batubara, yang daya rusak lingkungannya tinggi sekaligus hanya menguntungkan pemerintah dan perusahaan tambang.

Siti Maemunah mengatakan, “Kenapa kemudian batubara yang kesannya ayo ada dimana ada batubara kita keruk dan kita jual. Jadi tidak untuk sebagai cadangan energi ke depan. Paradigma komoditas dagang ini mendominasi pemikiran para pengambil keputusan, termasuk pemerintah dan DPR. Kebutuhan mineral kita juga tidak jelas, tidak ada strategi yang jelas bahkan berpotensi korupsi.”

Selain itu, kata Maemunah, penting untuk meletakkan warga dalam konteks isu pertambangan karena mereka sejak lama bermukim di kawasan itu. Namun dalam beberapa kasus --seperti yang terjadi di Bima, Nusa Tenggara Barat, Sabtu lalu, warga di sekitar pertambangan justru sering menjadi korban kebrutalan aparat, karena dianggap mengancam keberlangsungan perusahaan pertambangan.