Anggota DPR AS: Serangan di Brussels Mungkin Dapat Ubah Pendapat Soal Guantanamo

Dana Rohrabacher (Foto: dok).

Lebih dari 85 persen narapidana yang ditahan di Teluk Guantanamo, Kuba, sejak tahun 2002 telah dialihkan ke negara-negara lain. Kurang dari 100 masih di sana dan pemerintahan Obama ingin menutup fasilitas tersebut.

Departemen Luar Negeri AS dan pejabat Pentagon memberikan kesaksian di Capitol Hill, Rabu (23/3) tentang rencana pemerintahan Obama untuk menutup fasilitas penahanan di Teluk Guantanamo, Kuba. Sidang dengar keterangan ini berlangsung satu hari setelah serangan teroris di Brussels.

Seperti dilaporkan oleh koresponden VOA di Pentagon, Carla Babb, sebagian anggota parlemen menyatakan bahwa serangan di Brussels dan serangan tahun lalu di Paris mungkin membujuk negara-negara sekutu di Eropa memikirkan kembali seruan mereka untuk menutup fasilitas tersebut.

Lebih dari 85 persen narapidana yang ditahan di Teluk Guantanamo, Kuba, sejak tahun 2002 telah dialihkan ke negara-negara lain.

Kurang dari 100 masih di sana dan pemerintahan Obama ingin menutup fasilitas tersebut.

Para pejabat pemerintah mengatakan citra penjara, yang juga dikenal dengan singkatan Gitmo itu, adalah pengingat akan praktik interogasi kejam yang disebut waterboarding dan penahanan jangka panjang tanpa pengadilan yang mendapat otorisasi dari pemerintah Amerika Serikat.

"Negara-negara di seluruh dunia dan para sekutu memberitahu kita bahwa Gitmo merugikan kita. Dengan menutup Gitmo, kita mengatasi keprihatinan dunia," kata Paul Lewis, pejabat Departemen Pertahanan AS urusan Guantanamo.

Tanpa memberikan rincian, Lewis mengakui bahwa warga Amerika telah dibunuh oleh mantan tahanan Gitmo yang kembali ke medan perang.

"Ketika orang meninggal, itu merupakan tragedi, dan kita tidak ingin ada yang mati karena kita memindahkan tahanan," lanjutnya.

Tapi Lewis mengatakan pemerintahan sekarang dan yang sebelumnya percaya akan pentingnya menutup Gitmo melebihi risiko dengan tetap membukanya.

Anggota DPR dari Partai Republik, Dana Rohrabacher, percaya penjara itu masih sepenting dulu. "Mereka begitu marah kepada kita sehingga itu menjadi alat merekrut bahwa kita menahan teroris yang membunuh orang yang tidak bersalah di Gitmo. Tapi saya pikir alat merekrut yang lebih besar adalah ketika pemerintah kita, terutama pemerintahan sekarang ini, dipandang lemah," ujarnya.

Menurut laporan intelijen, kurang dari lima persen tahanan Gitmo yang dipindahkan selama pemerintahan Obama telah kembali ke terorisme.

Tapi beberapa anggota kongres takut negara yang telah menerima tahanan Gitmo, seperti Ghana dan Uruguay, tidak dapat benar-benar memantau mereka.

"Ghana adalah tempat yang indah. Tetapi kenyataannya adalah, negara itu tidak memiliki dinas intelijen atau penegak hukum yang baik untuk menangani masalah seperti ini," kata Ed Royce, Ketua Komisi Luar Negeri DPR AS.

Sementara lebih banyak tahanan akan memenuhi syarat untuk ditransfer, proses penahanan Gitmo akan tetap hangat diperdebatkan.

"Sekarang saya bukan hendak membebaskan orang yang bersalah, tapi saya juga tidak ingin menahan orang bertahun-tahun di penjara tanpa pengadilan," kata Eliot Engel, Anggota DPR dari Partai Demokrat.

Anggota DPR dari Partai Republik, Dana Rohrabacher menanggapi dengan mengatakan "Jika satu anak diselamatkan karena dia bisa saja diledakkan oleh seseorang yang dibebaskan itu, maka lebih baik menahan semua 90 orang itu di Gitmo."

Opsi untuk memindahkan tahanan dari Guantanamo ke tanah Amerika masih tetap bertentangan dengan Undang-Undang. [lt]