Analisis: Apakah Korea Utara di Ambang Keruntuhan?

Warga menonton berita yang menampilkan Thae Yong-ho, diplomat Korea Utara yang membelot, di sebuah stasiun kereta di Seoul. (Foto: Dok)

Seorang analis mengatakan secara kasat mata "tidak ada indikasi bahwa rezim itu di ambang keruntuhan."

Meskipun banyak pendapat dan semakin santernya berita bahwa bahwa Korea Utara sedang goyah dan di ambang keruntuhan, belum ada konsensus di antara pakar di Amerika mengenai kejatuhan rezim tertutup itu dalam waktu dekat.

Pembicaraan mengenai kemungkinan runtuhnya rezim Korea Utara dalam waktu dekat mencuat kembali di antara para pengamat Korea Utara ketika Thae Yong Ho, seorang pembelot yang berkedudukan tinggi baru-baru ini mengatakan bahwa gelombang informasi dari luar negara itu dan perluasan kegiatan pasar di dalamnya menguras sistem dan struktur lama Korea Utara.

Rezim itu sedang dalam “keruntuhan” dan hari-hari kepemimpinan Kim Jong-un “tidak lama lagi,” kata wakil duta besar Korea Utara untuk Inggris itu sebelum membelot dengan keluarganya ke Korea Selatan tahun 2016.

“Pembangkangan tingkat rendah atau kecaman terhadap rezim itu, sampai belakangan ini tidak terbayangkan tapi sekarang menjadi makin sering di antara elit Korea Utara,” kata Thae pada konferensi pers di Seoul minggu lalu.

“Kita perlu menyiram Korea Utara dengan bensin dan membiarkan rakyat Korea Utara menyulutnya”.

Menyusul komentar Thae, tajuk rencana Wall Street Journal menyarankan pemerintahan Trump untuk "membuat perubahan rezim tujuan kebijakan eksplisit untuk Korea Utara."

Joseph DeTrani, mantan utusan AS soal nuklir dan pejabat intelijen, mengatakan bahwa meski klaim-klaim Thae merupakan "komentar signifikan" berdasarkan pengetahuan diplomat itu, secara kasat mata "tidak ada indikasi bahwa rezim itu di ambang keruntuhan."

Meskipun pendapatnya didasarkan pada informasi terbatas, DeTrani mengatakan ia melihat "pemerintahan yang berfungsi di Utara: pasar-pasar swasta berfungsi dan orang-orang memiliki akses terhadap pangan.

Situasi di Romyong Street, Pyongyang.

Ken Gause, yang juga memantau rezim Kim, juga skeptis dengan prediksi perubahan rezim.

Meskipun sanksi-sanksi internasional meningkat, ujarnya, perekonomian Pyongyang relatif baik. Bahkan dengan kekurangan pangan yang kronis, negara itu "tidak berada dalam situasi serius seperti tahun 1990an ketika ada kelaparan massal."

Gause, direktur Kelompok Urusan Internasional di Pusat Analisis Angkatan Laut di Arlington, Virginia, menambahkan bahwa akibat jaringan pemantauan ekstensif dari para informan terhadap semua warga Korea Utara, kecil kemungkinan bahwa informasi yang dapat mengarah pada pemberontakan akan beredar di antara warga biasa.

"Jika rezim akan jatuh, hal itu akan disebabkan oleh destabilisasi di kalangan atas rezim tersebut," ujar Gause.

Namun beberapa ahli memberi bobot pada deskripsi Thae mengenai situasi politik Pyongyang.

Bruce Klingner, peneliti senior mengenai Asia Timur Laut di Pusat Studi Asia di The Heritage Foundation di Washington, yakin rezim Kim sedang mengalami kemunduran signifikan karena kekecewaan dari rakyatnya.

"Komentar Thae menunjukkan adanya peningkatan kekecewaan, bahwa harapan rakyat terhadap Kim Jong-un tidak terpenuhi, bahwa ia tidak lebih baik dari ayah dan kakeknya, tidak hanya soal represi tapi juga resistensi untuk mengizinkan informsi dari luar masuk dan memberlakukan reformasi ekonomi yang diperlukan," ujar mantan pejabat intelijen itu.

Bruce Bennett, analis pertahanan senior dari RAND Corporation di Santa Monica, California mengatakan ada beberapa indikasi ketidakstabilan di Korea Utara. Salah satu contohnya, menurutnya, adalah memburuknya hubungan antara Korea Utara dan sekutu satu-satunya, China.

"Presiden [Korea Selatan] Park mengadakan delapan KTT dengan [Presiden China] Xi Jinping dan [Kim] sama sekali tidak ada," ujar Bennett. [my/hd]