Tautan-tautan Akses

Gamelan Mengalun Merdu di Amerika


Gamelatron, proyek ciptaan seniman AS, Aaron Taylor Kuffner (foto/dok: Aaron Taylor Kuffner)
Gamelatron, proyek ciptaan seniman AS, Aaron Taylor Kuffner (foto/dok: Aaron Taylor Kuffner)

Keindahan dan suara merdu gamelan tradisional Indonesia yang dipertunjukan di kancah internasional, sering kali mengundang decak kagum dari para penontonnya. Inilah yang selalu terjadi ketika alunan gamelan terdengar di berbagai festival kebudayaan di Amerika.

“Suara gamelan sangat menarik,” ujar Fransiska, salah satu penonton asal Jerman di acara festival musik "Performing Indonesia" yang pernah diadakan di bilangan Smithsonian, Washington, D.C. Fransiska sendiri adalah anggota dari kelompok Cornell Gamelan Ensemble di Ithaca, New York.

Penonton kembali dibuat terpesona ketika melihat banyak warga Amerika yang dengan bangga juga ikut tampil dan memainkan gamelan sambil mengenakan pakaian tradisional Indonesia.

Terlepas dari pertunjukan, alunan gamelan yang lembut juga telah berhasil menarik perhatian sutradara film Hollywood, Peter Jackson, untuk mengikutsertakan instrumen gamelan dari kelompok gamelan Padhang Moncar di Selandia Baru sebagai bagian dari ilustrasi musik film the Hobbit: the Desolation of Smaug.

Sebenarnya apa yang membuat gamelan menjadi semakin populer keberadaannya di Amerika?

Gamelan dan Dunia Akademik AS

Semua ini berawal pada tahun 1958, ketika ahli musik asal Amerika, mendiang Mantle Hood, membuat program musik gamelan Jawa dan Bali di University of California at Los Angeles (UCLA), setelah sebelumnya mempelajari gamelan di Indonesia. Tidak lama setelah itu, Mantle Hood yang juga adalah pendiri dari Institut Etnomusikologi di UCLA mengundang beberapa pengajar gamelan dari Indonesia, salah satunya Hardja Susilo dari Yogyakarta yang sekarang menjadi guru gamelan di Hawaii.

Emiko Saraswati Susilo, Direktur dan Guest Dance Director kelompok Gamelan Sekar Jaya di Berkeley
Emiko Saraswati Susilo, Direktur dan Guest Dance Director kelompok Gamelan Sekar Jaya di Berkeley

“Banyak orang etnomusikologi yang tertarik dengan gamelan Jawa, Bali, dan dengan budaya Indonesia. Jadi ada banyak hubungan dengan dunia akademik juga. Jadi banyak gamelan yang dimiliki oleh universitas-universitas di Amerika Serikat,” cerita Emiko Saraswati Susilo (41), puteri dari Hardja Susilo yang juga adalah Direktur dan Guest Dance Director dari kelompok Gamelan Sekar Jaya di Berkeley, California, kepada VOA Washington, D.C. baru-baru ini.

Sejak itu berbagai universitas di AS, seperti Wesleyan, University of California, Berkeley, Cornell, Yale, dan Harvard mulai mengikuti jejak UCLA dengan mengadakan kelas gamelan di kampusnya. Kepemilikan instrumen gamelan di kampus juga dipandang sebagai suatu hal yang prestisius. “Gamelan menjadi satu tanda atau simbol eksklusif,” kata Andrew Clay McGraw (39), dosen jurusan Etnomusikologi di University of Richmond, Virginia, di mana tersedia mata kuliah gamelan yang juga diajarnya.

Para mahasiswa dari berbagai jurusan yang mengambil kelas gamelan rata-rata adalah orang Amerika yang jatuh cinta seketika setelah mendengar suara alunan gamelan.

Gamelan Bali Ragakusuma arahan Andrew McGraw di Richmond, Virginia (foto/dok: Andrew McGraw)
Gamelan Bali Ragakusuma arahan Andrew McGraw di Richmond, Virginia (foto/dok: Andrew McGraw)

“Kalau orang Amerika melihat gamelan itu cool sekali dan ini baru sekali untuk dia, walaupun di Indonesia sudah 1000 tahun ada gamelan, sampai anak-anak sekarang sudah bosan, tapi bagi orang Amerika ini adalah sesuatu yang baru,” lanjut Andrew yang juga adalah pendiri dari kelompok gamelan Bali, Raga kusuma, di Richmond, Virginia ini.

Kebersamaan Dalam Gamelan

Cinta pada pandangan pertama terhadap gamelan juga didukung oleh kekaguman orang Amerika akan rasa kebersamaan yang tercipta di antara para pemain gamelan. “Kalau kita di Amerika, kalau kuliah sudah ‘pergi’ dari rumah. Setelah itu kerja, pergi lagi. Kadang-kadang orang tidak punya ikatan keluarga atau ikatan tetangga yang seperti kita punya di Indonesia, tapi itu justru sangat kuat di dalam dunia gamelan,” kata Emiko. “Jadi saya rasa itu juga menjawab suatu kerinduan yang ada di dalam hati masyarakat di Amerika untuk bisa terikat di dalam satu komunitas,” lanjut wanita keturunan Yogyakarta dan Jepang ini kepada VOA.

Gamelatron, proyek ciptaan senimas AS, Aaron Taylor Kuffner (foto/dok: Aaron Taylor Kuffner)
Gamelatron, proyek ciptaan senimas AS, Aaron Taylor Kuffner (foto/dok: Aaron Taylor Kuffner)

Kebersamaan dalam gamelan juga dirasakan oleh seniman AS, Aaron Taylor Kuffner (39), pencipta sebuah proyek gamelan ‘Gamelatron’ yang menggabungkan alat musik gamelan dengan teknologi robotik, sehingga gamelan tersebut bisa bermain dengan sendirinya melalui arahan komputer. “Kebudayaan di Amerika berbeda dengan di Indonesia. Di Amerika sangat individual, jadi grup gamelan penting untuk kebudayaan di Amerika,” ujar pria yang menciptakan proyek ‘Gamelatron’ sebagai inovasinya dalam mengembangkan gamelan.

Aaron yang pernah belajar gamelan di Indonesia selama tiga tahun, mengakui bahwa gamelan bisa menjadi alat pemersatu di era teknologi serba canggih yang sering membuat orang mengisolasi diri dengan smartphone dan Internet, “Grup gamelan adalah kesempatan untuk melakukan kumpul bersama dan aktivitas bersama,” lanjutnya.

Beragam Komunitas Gamelan di AS

Para mahasiswa yang pernah mengikuti mata kuliah gamelan di universitas-universitas Amerika inilah yang kemudian membantu penyebaran dan pembentukan kelompok gamelan, yang sekarang jumlahnya hampir mencapai 200 kelompok yang tersebar di seluruh negara bagian di AS. Jika memang tertarik dengan gamelan, biasanya setelah lulus, para mahasiswa itu kemudian pergi ke Indonesia untuk mempelajari gamelan lebih lanjut.

Gamelan Raga Kusuma yang dibentuk oleh Andrew McGraw pada tahun 2007 di Richmond, Virginia ini adalah salah satunya. Andrew yang memiliki pengalaman belajar gamelan di Bali, menjadi pengajar utama di kelompok gamelan Bali yang beranggotakan sekitar 30 orang, mulai dari umur 8 hingga 70 tahun.

Kelompok Banjar Bali dan Gamelan Raga Kusuma di Washington, D.C. (foto/dok: Banjar Bali)
Kelompok Banjar Bali dan Gamelan Raga Kusuma di Washington, D.C. (foto/dok: Banjar Bali)

Beragam kolaborasi seringkali dilakukan oleh Gamelan Raga Kusuma, salah satunya dengan komunitas Banjar Bali, yaitu komunitas masyarakat Bali di daerah Washington, D.C.

Kelompok Banjar Bali di Washington, D.C. (foto/dok: Banjar Bali
Kelompok Banjar Bali di Washington, D.C. (foto/dok: Banjar Bali

“Ketika ada kegiatan yang berhubungan dengan pementasan tradisional kebudayaan Bali, seperti menari, banyak warga dari Banjar Bali, salah satunya saya, yang diundang. Jadi misalnya seperti dari Richmond dengan Gamelan Raga Kusuma, sering sekali mengadakan pentas, kita jadi sering ikut di sana,” papar Ika Inggas, ketua dari komunitas Banjar Bali.

Beralih ke Berkeley, California, kelompok Gamelan Sekar Jaya yang sudah berdiri sejak 35 tahun yang lalu adalah kelompok gamelan tertua di AS. Kelompok gamelan yang didirikan oleh I Wayan Suweca bersama warga Amerika, Rachel Cooper dan Michael Tenzer ini banyak bekerja sama dengan University of California, Berkeley, dalam mata kuliah gamelan dan juga dalam mendatangkan guru gamelan dari Bali.

Sampai hari ini, anggota Sekar Jaya sudah mencapai sekitar 60 orang baik Amerika maupun Indonesia. Melalui Sekar Jaya, orang-orang Amerika dan juga Indonesia yang tinggal di California, bisa belajar tentang berbagai kesenian Bali termasuk gamelan dan tariannya dengan instruktur yang langsung didatangkan dari Bali dan juga instruktur asal Amerika. “Ada unsur belajarnya, unsur pertunjukan dan pertukaran budaya. Jadi pentas sambil belajar tentang kesenian tentang budaya Bali, Indonesia,” jelas Emiko yang bergabung sebagai murid dengan Sekar Jaya pada tahun 1991, saat masih berusia 18 tahun.

Selain itu, ada juga kelompok gamelan di Amerika yang awalnya didirikan di Indonesia, seperti Gamelan Wrhatnala USA di Washington, D.C, yang beranggotakan sekitar 50 orang baik Amerika maupun Indonesia.

Project Manager Gamelan Wrhatnala USA, Mourien Supartha mengatakan, biasanya orang-orang Amerika yang akhirnya bergabung di kelompok gamelannya tertarik setelah melihat pertunjukan mereka, “Kadang-kadang setelah performance apalagi kalau pakai live gamelan, kita suka ada sedikit workshop di akhir pertunjukan. Kita kasih kesempatan kepada penonton untuk mencoba main gamelan,” ujar Mourien kepada VOA. Mourien berharap untuk ke depannya, Gamelan Wrhatnala USA bisa berkolaborasi dengan kelompok gamelan yang lain di Amerika.

Gamelan Goes to School

Gamelan Sumunar arahan Joko Sutrisno di St. Paul, Minnesota (foto/dok: Joko Sutrisno)
Gamelan Sumunar arahan Joko Sutrisno di St. Paul, Minnesota (foto/dok: Joko Sutrisno)

Tidak hanya di universitas-universitas Amerika, tetapi di kota St. Paul, Minnesota, kelompok gamelan nirlaba, Sumunar, yang dibina oleh Joko Sutrisno, telah membawa program gamelan ke sekolah-sekolah Amerika. “Selain di universitas, program kita juga dari TK sampai SMA. Di Minnesota sendiri sekarang gamelan Jawa ada lebih dari 12 set,” ujar pria yang juga mengajar gamelan di University of Minnesota dan beberapa universitas lain di Amerika.

“Kita punya program namanya School Residencies. Jadi kita bawa alat satu truk ke sekolah, kita di sana mengajar satu sampai dua minggu. Satu hari belajar 1 jam. Setelah 10 kali pertemuan, kita adakan pertunjukan. Mereka bisa main, tidak melihat notasi, dan confident,” lanjutnya.

Usaha dan kerja keras lulusan Institut Seni Indonesia, Solo, ini mendapat sambutan yang sangat positif. “Pendapat orang tua dan guru mereka ‘Amazing! How can we do that in 10 lessons?’” ujar pria yang sudah 20 tahun menetap di Amerika ini.

Melestarikan Gamelan di Amerika

Berbagai cara terus dilakukan oleh para artis dan seniman gamelan di Amerika untuk terus mempromosikan kebudayaan Indonesia melalui gamelan di Amerika. “Saya punya impian untuk membuat pagelaran seni dengan seluruh sanggar-sanggar yang ada di Amerika sini,” ujar Mourien. Dari situ tentunya Indonesia beserta kebudayaannya akan semakin dikenal. “Saya sangat senang orang semakin mengenal Indonesia,” kata Emiko yang juga adalah pendiri sanggar Cudamani di Ubud, Bali. “Saya sendiri, mungkin karena saya seniman merasa sangat bangga dengan seni dan budaya yang ada di Indonesia. Bagi saya itu adalah salah satu kekuatan yang paling penting yang kita punya di Indonesia. Jadi kalau orang bisa mengenal Indonesia melalui kesenian saya sangat bahagia sekali,” lanjutnya menutup wawancara dengan VOA.

XS
SM
MD
LG