Tautan-tautan Akses

Rumah Sakit Katolik Dituding Lakukan Diskriminasi Terhadap Transgender


Seorang perempuan memegang bendera pelangi di Little Rock, Arkansas, Amerika Serikat, 26 April 2015. (Foto: Reuters)
Seorang perempuan memegang bendera pelangi di Little Rock, Arkansas, Amerika Serikat, 26 April 2015. (Foto: Reuters)

Baru-baru ini Mahkamah Agung Amerika Serikat (AS) mengeluarkan keputusan yang membuat gerah sebuah gereja Katolik di Sacramento, California. Pengadilan tertinggi itu menolak mendengarkan permohonan banding gereja itu terkait gugatan seorang transgender yang menuding rumah sakit itu bersikap diskriminatif terhadap dirinya.

Gereja itu menolak memberikan layanan histerektomi karena bertentangan dengan ajaran Katolik dan bersikeras menyatakan keputusan itu bertentangan dengan Amandemen Pertama Konstitusi AS yang menjamin kebebasan mempraktikkan ajaran agama.

Seorang transgender terlihat di San Salvador 19 Mei 2012. (Foto: Reuters)
Seorang transgender terlihat di San Salvador 19 Mei 2012. (Foto: Reuters)

Evan Minton merasakan luapan kebahagiaan tak terkira setelah Mahkamah Agung AS pada November tahun lalu mengeluarkan keputusan yang menolak mendengarkan kasus permohonan banding Mercy San Juan Medical Center.

Penolakan itu berarti bertahannya keputusan pengadilan banding California untuk menghidupkan kembali kasus gugatan diskriminasi yang diajukan Minton setelah ia dinyatakan kalah di pengadilan yang lebih rendah.

“Saya sangat bersyukur terhadap orang-orang yang mendukung saya selama masa yang sangat menegangkan ini. Saya tidak pernah ingin menjadi bagian dari ini. Yang saya inginkan hanyalah menjalani histerektomi,” katanya.

Minton terlahir sebagai perempuan, tetapi merasa dirinya adalah laki-laki. Histerektomi, menurutnya, akan menyempurnakan statusnya sebagai pria transgender. Histerektomi adalah operasi pengangkatan rahim.

Pada tahun 2016, Minton sebetulnya dijadwalkan untuk menjalani histerektomi di rumah sakit di Sacramento itu. Rumah sakit itu milik Dignity Health, sebuah organisasi yang operasi dan pendanaannya didukung komunitas Katolik Amerika. Tapi entah bagaimana satu hari sebelum prosedur itu dijalankan, ia mendapat kabar bahwa rumah sakit itu membatalkannya.

Kabar itu membuat Minton terpukul.

“Saya terpuruk dan menangis. Hati saya hancur. Operasi itu adalah hal penting bagi saya karena itu berarti menghilangkan sepenuhnya status keperempuanan saya. Operasi itu akan membuat saya sepenuhnya sebagai laki-laki,” katanya.

Aktivis dan pendukung LGBTQ memblokir jalan di luar Mahkamah Agung AS saat mendengarkan argumen dalam kasus besar hak-hak LGBT di Washington, AS, 8 Oktober 2019. (Foto: REUTERS)
Aktivis dan pendukung LGBTQ memblokir jalan di luar Mahkamah Agung AS saat mendengarkan argumen dalam kasus besar hak-hak LGBT di Washington, AS, 8 Oktober 2019. (Foto: REUTERS)

Minton menjalani operasi tiga hari kemudian di rumah sakit yang berbeda. Dia mengajukan gugatan diskriminasi di pengadilan, namun pengadilan mendukung penolakan rumah sakit itu. Pengadilan tersebut setuju bahwa penyedia layanan berbasis agama berhak untuk menawarkan layanan yang hanya konsisten dengan keyakinan agama mereka,

Dignity Health belakangan merilis pernyataan yang mengatakan menentang semua bentuk diskriminasi. Namun sesuai ajaran Katolik, rumah sakit itu – yang menjadi salah satu fasilitas layanannya -- tidak menawarkan layanan tertentu termasuk prosedur sterilisasi seperti histerektomi kepada pasien mana pun tanpa memandang identitas gender, kecuali pasien memiliki kondisi yang mengancam jiwa.

Di pengadilan banding, Minton justru mendapat pencerahan. Pengadilan itu menolak keputusan pengadilan sebelumnya.

Pengadilan banding California pada tahun 2019 menghidupkan kembali kasus tersebut, dan menolak argumen rumah sakit yang menyatakan bahwa melakukan prosedur histerektomi terhadap Minton sama saja dengan melanggar keyakinan agama dan itu bertentangan dengan Amandemen Pertama Konstitusi AS yag menjamin kebebasan dalam menjalankan ajaran agama. Rumah sakit Katolik itu akhirnya mengajukan banding ke Mahkamah Agung.

“Kasus ini merupakan ancaman besar bagi kemampuan institusi perawatan kesehatan berbasis agama untuk memajukan pelayanan penyembuhan mereka yang konsisten dengan ajaran iman mereka," kata rumah sakit kepada hakim dalam pernyataannya di pengadilan.

“Jadi perjuangan ini sesungguhnya adalah perjuangan untuk meraih martabat yang mendasar bagi orang-orang transgender. Saya bangga menjadi bagian dari perjuangan itu,” katanya.

Minton mengatakan histerektomi secara medis diperlukan untuk mengobati disforia gender, yang didefinisikan oleh American Psychiatric Association sebagai "kesulitan yang signifikan secara klinis" karena konflik antara identitas gender seseorang dan jenis kelamin saat dilahirkan. Mercy San Juan Medical Center secara rutin melakukan histerektomi pada pasien nontransgender untuk mengobati masalah lain, seperti nyeri panggul kronis atau fibroid rahim. [ab/uh]

XS
SM
MD
LG