Tautan-tautan Akses

Puluhan Anak-anak Difabel Kota Solo Tuntut Dihapusnya Diskriminasi


Group musik anak-anak difabel kota Solo ingin menunjukkan bahwa mereka juga bisa produktif dan berprestasi seperti warga masyarakat lainnya.
Group musik anak-anak difabel kota Solo ingin menunjukkan bahwa mereka juga bisa produktif dan berprestasi seperti warga masyarakat lainnya.

Puluhan anak-anak difabel dari Yayasan Pembinaan Anak cacat atau YPAC kota Solo, Jawa Tengah merayakan hari Difabel Internasional. Mereka mengeluhkan masih minimnya kepedulian pemerintah dan sikap diskriminatif masyarakat yang sering mereka alami.

Sekitar 50 anak difabel memadati salah satu ruang publik di Sriwedari kota Solo Jawa tengah, Sabtu pagi (3/12). Puluhan anak-anak dari YPAC kota Solo tersebut sambil duduk di kursi roda masing-masing membawa poster berisi protes perlakuan diskriminatif yang masih sering mereka alami.

Poster-poster tersebut berisi tulisan: "Terima Kami Apa Adanya", "Hapus Diskriminasi Pada Difabel", dan sebagainya.

Anak-anak difabel itu juga bermain musik dan menyanyikan lagu: “Tanpa kaki, ku tetap dapat berlari..tanpa suara, ku tetap dapat bernyanyi...”

Tak hanya itu, nasib serupa juga dialami grup musik perkusi difabel dari SLB YPAC kota Solo. Grup musik anak-anak tuna daksa ini minim perhatian. Selama hampir 3 tahun terbentuk, mereka masih memakai tong plastik tempat sampah, kentongan, dan galon air minum sebagai alat musiknya.

Juru bicara YPAC kota Solo sekaligus pelatih grup musik perkusi difabel tersebut, Sugian Noor, mengatakan ingin menunjukkan anak-anak difabel tetap produktif berkarya meski seringkali mendapat perlakuan diskriminatif ataupun stigma negatif.

Anak-anak difabel di kota Solo memperingati Hari Difabel Internasional dengan menggelar unjuk rasa menuntut dihapusnya diskriminasi terhadap para difabel (3/12).
Anak-anak difabel di kota Solo memperingati Hari Difabel Internasional dengan menggelar unjuk rasa menuntut dihapusnya diskriminasi terhadap para difabel (3/12).

Sugian mengatakan, “Kalau sekarang kan pandangan pada kaum difabel masih diskriminatif, dianggap rendah martabatnya, itu masih kita rasakan..mungkin pandangan seperti itu sudah menjadi stigma negatif atau apa gitulah. Kita seringkali sudah semangat berlatih persiapan pentas, mendekati hari H langsung dibatalkan tanpa alasan jelas..bahkan pas pentas, kita seringkali mendapat urutan terakhir, penonton pas udah pada pulang semua."

Meski demikian, menurut Sugian Noor, anak-anak difabel tetap mempunyai semangat untuk menunjukkan kepada masyarakat bahwa mereka juga bisa berprestasi.

"Ya itu semua kita sikapi biasa lah..kita memang memakai alat musik dari barang yang sudah tidak terpakai, dibuang atau sampah, kita pingin olah jadi alat musik. Pesannya sih, kita manfaatkan barang-barang yang tidak terpakai menjadi kembali berguna dan unik. Sama halnya dengan pemainnya yang dianggap masyarakat tidak produktif. (Namun), karena berkebutuhan khusus alias difabel, justru kita bisa membuktikan (bahwa) difabel mampu produktif,” tambah Sugian Noor.

Puluhan anak-anak difabel ini menyatakan tak akan menyerah dan terus berkarya. Grup musik perkusi anak-anak difabel ini berencana akan tampil atau pentas di ajang ASEAN PARAGAMES, kejuaraan olahraga bagi atlet difabel di kawasan ASEAN. Kota Solo menjadi tuan rumah ASEAN PARAGAMES yang akan digelar pertengahan bulan ini, 12-22 Desember 2011.

“Percayalah..karena aku anak istimewaaaa…” kembali terdengar lantunan lagu anak-anak difabel ini.

XS
SM
MD
LG