Tautan-tautan Akses

Peran Tokoh Berpengaruh Besar dalam Pemilu Indonesia


Pakar politik William Liddle (kiri) saat memberikan presentasinya mengenai Pemilu Indonesia didampingi moderator Vikram Nehru, peneliti senior di Carnegie Endowment for International Peace, di Washington DC, 24/4/2014 (Foto: VOA/ Ika Inggas).
Pakar politik William Liddle (kiri) saat memberikan presentasinya mengenai Pemilu Indonesia didampingi moderator Vikram Nehru, peneliti senior di Carnegie Endowment for International Peace, di Washington DC, 24/4/2014 (Foto: VOA/ Ika Inggas).

Masyarakat Indonesia masih lebih memilih figur individu dibandingkan partai yang diwakilinya dalam pemilu. Hal ini terlihat pada Pemilu Legislatif 9 April yang diyakini juga akan mewarnai Pemilu Presiden Indonesia 9 Juli nanti, demikian diungkapkan Prof. R Willian Liddle, pakar politik Indonesia.

Berbicara dalam forum yang diselenggarakan oleh Carnegie Endowment for International Peace Kamis lalu (24/4) di Washington DC, Profesor Emeritus R. William Liddle, pakar politik dari Ohio State University ini mengatakan bahwa tokoh individual memegang peran besar dalam menentukan suara pemilih.

“Kita masih melihat pentingnya peran tokoh dalam pemilihan umum di Indonesia. Tentu saja peran tokoh sangat penting dalam pemilihan presidensial tapi juga dalam pemilihan legislatif yang baru lalu. Sebab sebagian besar dari partainya mendapat tambahan suara oleh karena dorongan tokoh,” kata Liddle.

Sebagai contoh, guru besar yang fasih berbahasa Indonesia ini menunjukkan sejumlah partai politik seperti Gerindra merupakan kendaraan politik Prabowo, Nasdem merupakan partai politik Surya Paloh, Demokrat yang sepenuhnya menjadi kendaraan politik Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono ataupun Hanura yang merupakan partai untuk menyalurkan ambisi politik dari Wiranto.

Hal ini juga menjelaskan bagaimana keputusan PDIP untuk mengumumkan Jokowi sebagai calon presiden dari kubu partai tersebut sebelum dilangsungkannya Pemilu Legislatif adalah strategi yang tepat bagi PDIP. Karena elektabilitas Jokowi yang cukup tinggi telah mampu mengangkat perolehan PDIP sebagai partai dengan suara terbanyak dalam Pemilu Legislatif dengan 19% perolehan suara. Walaupun pencapaian ini lebih rendah dari yang ditargetkan PDIP, faktor figur Jokowi telah berhasil mengangkat perolehan PDIP dari perkiraan sejumlah survei sebelumnya bahwa perolehan suara PDIP hanya akan berkisar pada 15%-16% jika tidak mengumumkan Jokowi sebagai calon presiden.

Ditanya soal koalisi yang mungkin terbentuk dalam pemilu presiden nanti, profesor yang banyak mengutarakan opininya berdasarkan hasil riset dari lembaga penelitian Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) dimana ia terlibat di dalamnya, mengatakan, walaupun partai yang mendulang suara terbanyak yaitu PDIP bisa saja melakukan koalisi hanya dengan satu partai, koalisi dengan partai yang lebih banyak akan lebih menguntungkan.

Ia memaparkan koalisi dengan jumlah partai yang minimal, akan menghasilkan kabinet yang lebih profesional dan tidak partisan. Namun di sisi lain, diakuinya ini bisa menyebabkan hilangnya perolehan suara pemilih dari simpatisan partai-partai di luar koalisi. Di samping itu dibutuhkan suara mayoritas di parlemen untuk bisa memerintah secara efektif. Oleh karena itulah menurut profesor yang juga merupakan pakar politik Asia Tenggara ini, akan lebih menguntungkan bagi PDIP untuk membangun koalisi yang lebih besar.

Dalam kesempatan itu juga Prof. Liddle mengatakan bahwa masalah ekonomi menjadi hal utama yang seharusnya menjadi perhatian presiden terpilih nanti. Walaupun demikian, menurutnya, tidak ada satu pun kandidat presiden yang secara konkret mengemukakan kebijakan ekonomi apa yang mereka terapkan jika mereka terpilih nanti.

“Bagi saya masalah yang paling penting adalah kebijakan ekonomi yang tidak dibicarakan oleh para calon. Seakan-akan menjadi tabu di dalam politik Indonesia untuk menjelaskan kebijakan apa yang akan diambil setelah menjadi presiden nanti. Saya tahu bahwa di Amerika juga ada masalah ini, tapi di Indonesia yang kita lihat adalah bahwa semua calon bicara pada tingkat yang sangat abstrak, tentang ekonomi yang mandiri, pemerintahan yang berdaulat, budaya yang berkepribadian, dan lain sebagainya. Tetapi pernyataan seperti itu tidak membantu kita untuk mengerti tentang kebijakan apa yang akan diambil seandainya mereka menjadi presiden nantinya,” papar Prof. Liddle.

Menurut Prof. Liddle, walaupun mereka baru pada tahap kandidat presiden, mereka harus bisa memaparkan kebijakan ekonomi yang mereka ambil jika mereka menjadi presiden, sehingga pemilih akan lebih jelas dalam memutuskan siapa yang akan akan dipilih. Ia juga mengatakan tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia yang sekarang adalah 5,7%, dengan kecenderungan meningkat, sehingga sebenarnya bisa ditingkatkan hingga 10% dengan kebijakan ekonomi yang tepat.

Profesor Liddle juga mengemukakan bahwa Indonesia memiliki sejumlah faktor positif untuk menjadikan Indonesia sebagai negara yang besar. Seperti misalnya persatuan nasional yang cukup kuat, landasan demokrasi, dan pertumbuhan GDP yang baik.

Namun demikian guru besar itu juga mencatat sejumlah faktor negatif yang merongrong kemajuan Indonesia, seperti campur tangan pemerintah yang terlalu besar terutama dalam-masalah kepemilikan dan regulasi, sementara kapasitas negara dinilai masih lemah. Lembaga hukum juga masih lemah, walaupun kinerja KPK belakangan ini cukup memberikan angin segar.

Hal lainnya yang juga menghambat efektivitas negara menurut Liddle adalah lemahnya negara dalam menanggapi tuntutan oleh kelompok-kelompok Islam radikal. Liddle mencontohkan bagaimana kelompok-kelompok yang kerap melakukan kekerasan ini seolah-olah kebal hukum, dan partai-partai politik yang sekular tunduk pada tuntutan kelompok-kelompok Islam ini.
XS
SM
MD
LG