Tautan-tautan Akses

Pemerintah Terbitkan Aturan Baru Soal Minerba


ARSIP - Foto udara tambang raksasa yang dikelola oleh perusahaan AS, Freeport-McMoran Cooper & Gold Inc., yang terletak di operasi pertambangan Grassberg, di provinsi Papua, Indonesia (Juli 2005). (foto: REUTERS/Stringer/Arsip)
ARSIP - Foto udara tambang raksasa yang dikelola oleh perusahaan AS, Freeport-McMoran Cooper & Gold Inc., yang terletak di operasi pertambangan Grassberg, di provinsi Papua, Indonesia (Juli 2005). (foto: REUTERS/Stringer/Arsip)

Menteri Energi Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan menjelaskan Peraturan Pemerintah No.1 Tahun 2017 tentang mineral dan batu bara ini diantaranya berisi soal kewajiban perusahaan tambang membangun pabrik pemurnian atau smelter.

Pemerintah akhirnya menerbitkan revisi Peraturan Pemerintah (PP) No.1 Tahun 2017, yang merupakan revisi dari PP No.1 Tahun 2014. Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan dalam jumpa pers di kantor Kementerian ESDM Jakarta Kamis (12/1) mengatakan PP baru ini tetap konsisten menjalankan Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara (Mineba). Poin penting dalam PP ini adalah perubahan ketentuan tentang divestasi saham sampai dengan 51% secara bertahap. Jonan menegaskan dengan diterapkannya PP ini maka semua pemegang KK (Kontrak Karya) dan IUPK (Izin Usaha Pertambangan Khusus), wajib tunduk kepada UU Nomor 4 tahun 2009 tentang Minerba.

Divestasi saham hingga 51% ini dilakukan secara bertahap dalam jangka waktu 10 tahun sejak berproduksi. Jadi nantinya lanjut Jonan, tambang yang ada kepemilikan saham mayoritas, akan dikuasai oleh negara, atau paling tidak melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Pemerintah Terbitkan Aturan Baru Soal Minerba
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:02:55 0:00

“Kepemilikan pemerintah atau BUMN harus mencapai 51%. Sehingga semangat konstitusi yaitu bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat. Jadi ini sebetulnya goal nya,” ujar Ignasius Jonan.

Hal penting kedua, lanjut Jonan, adalah perubahan jangka waktu perpanjangan izin untuk perusahaan tambang pemegang IUP atau IUPK. Perpanjangan izin bisa dilakukan paling cepat 5 tahun sebelum izin tersebut berakhir.

Poin ketiga dalam PP ini adalah, pemerintah akan mengatur harga patokan penjualan mineral dan batu bara. Hal keempat lanjut Jonan, pemerintah menganjurkan perusahaan tambang pemegang kontrak karya (KK) untuk mengubah izinnya menjadi IUPK dengan beberapa persyaratan. Adapun syaratnya adalah, dalam lima tahun harus membangun pabrik pemurnian atau dikenal dengan istilah smelter. Kewajiban ini diatur dalam Peraturan Menteri ESDM yang baru saja diterbitkan. Pemerintah, tegas Jonan, akan memonitor tahapan-tahapan pembangunan smelter yang dilakukan oleh perusahaan tambang.

“Harus dibangun fasilitas pemurnian. Dalam pembangunannya akan diatur bahwa akan di monitor oleh pihak yang ditunjuk oleh Pemerintah memonitor tahap-tahap pembangunan fasilitas pemurnian dalam 5 tahun. Kalau tidak ada progres yang sesuai dengan perjanjian ya kita stop izin ekspornya,” ujar Ignasius Jonan.

Jonan menjelaskan langkah tegas ini perlu dilakukan agar ada nilai tambah yang diperoleh Pemerintah.

“Karena ini komitmen. Bahwa undang-undang ini berkomitmen, harus menerapkan hilirisasi untuk mendapatkan nilai tambah,” ujar Ignasius Jonan.

Untuk ekspor tambang mentah atau konsentrat ini, lanjut Jonan, akan dikenakan tarif Bea Keluar (BK). Sebelumnya tarif BK mencapai 5%. Untuk aturan baru ini, Kementerian ESDM mengusulkan tarif maksimal 10%.

Diterapkannya aturan baru tersebut lanjut Jonan bertujuan diantaranya agar adanya peningkatan penerimaan negara dan terciptanya lapangan kerja untuk rakyat

“Kenapa Pemerintah menetapkan begini? PP ini diterbitkan tujuan yang paling utama sesuai instruksi bapak Presiden adalah untuk meningkatkan terciptanya penerimaan negara. Mendukung atau mempertahankan pertumbuhan ekonomi di daerah yang ada pertambangannya dan nasional. Menjaga iklim investasi yang kondusif,” papar Ignasius Jonan.

Sebelumnya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melalui Komisi 7 mendesak Pemerintah agar bersikap tegas terhadap perusahaan mineral dan batu bara, khususnya perusahaan tambang emas di Papua, PT Freeport Indonesia agar memenuhi kewajibannya membangun pabrik pemurnian dan pengelolaan hasil tambang atau smelter. Padahal PT. Freeport masih melakukan ekspor mineral mentah. Anggota Komisi 7 DPR RI Kurtubi menjelaskan, pembangunan smelter dapat mendorong tumbuhnya industri-industri lain yang merupakan hilirisasi dari industri tambang.

“Bahwa memang sebaiknya Freeport harus membangun smelter di Papua. Ini adalah permintaan dari Pemda Papua. Alasannya untuk memperkecil kesenjangan. Antara daerah penghasil tambang di timur dengan Indonesia bagian barat,” ujar anggota Komisi 7 DPR, Kurtubi.

XS
SM
MD
LG