Tautan-tautan Akses

Pemberitaan Tak Peka Perempuan 'Aniaya' YY Dua Kali


Berita Gerbang Bengkulu mengenai YY.
Berita Gerbang Bengkulu mengenai YY.

Sebagian media di Indonesia dinilai telah ikut "menganiaya" YY untuk kedua kalinya lewat pemberitaan dan gambar-gambar ilustrasi yang tidak senonoh.

Media daring bisa menyampaikan berita lebih cepat dan disimak dalam kesempatan apa pun. Namun banyak media online yang dinilai tidak akurat dan tidak memegang prinsip-prinsip utama jurnalistik.

Hal ini tampak jelas dalam pemberitaan tentang pemerkosaan dan pembunuhan YY - siswi SMP di Padang Ulak Tanding, kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu.

"Gerbang Bengkulu", sebuah media online di Bengkulu misalnya memasang sosok seorang perempuan berbaju ketat berwarna putih dan foto rekonstruksi salah seorang pelaku pemerkosaan, dengan judul "ilustrasi dan rekonstruksi adegan pemerkosaan".

Foto itu dipasang di atas judul "Tragis, Gadis 13 Tahun Ini Diperkosa 14 Orang Hingga Tewas" (20/4). Foto itu bukan YY. Tetapi foto gadis berbaju ketat berwarna putih dalam posisi menggoda itu seakan menggiring imajinasi pembaca ketika membaca berita pemerkosaan dan pembunuhan itu, bahwa itulah korban.

"Foto itu kesannya korban memang anak yang memancing untuk diperkosa. Apa itu foto korban?" tanya salah seorang pendengar VOA melalui obrolan di WhatsApp. Seorang lainnya dengan memasang emoticon marah menulis "ilustrasi itu lebih violence dari pemerkosaannya sendiri."

"Gerbang Bengkulu" tidak sendiri. Adapula media daring "Pojok Satu" di Bogor yang juga menampilkan foto rekonstruksi pemerkosaan yang menggunakan objek boneka berbentuk perempuan.

Foto itu dipasang di atas judul berita "Berita Pemerkosaan YY Menyebar, Ini Sosok YY yang Tewas Diperkosa 14 Pelaku" (4/5) dengan menyebut nama asli korban. Dan begitu banyak media daring lain yang menggunakan pendekatan serupa untuk berita-berita lain.

Berita menjadi sensasional dan bombastis. "Kompas online" misalnya pernah membuat berita tentang seorang pemain sinetron yang tidak mengenakan bra ketika diperiksa Bareskrim Polri di Jakarta (15/4).

Sebagian Media Tidak Peka

Sosiolog dari Universitas Negeri Jakarta Dr. Robertus Robet kepada VOA Kamis sore (5/5) mengatakan banyak media, terutama media daring, yang tidak peka dengan isu perempuan dan isu sensitif lainnya.

"Kombinasi dari kebodohan, ketidakpekaan dan profit taking. Brutalitas 'gang-rape' misalnya dikonstruksikan sebagai semacam fantasi dan disajikan secara sensual sebagai drama. Ironisnya pembaca diposisikan sebagai voyeuris," tegas Robertus.

Sementara mantan wakil ketua Komisi Penyiaran Indonesia KPI Ezki Suyanto mengatakan ketidakpekaan itu juga muncul di media televisi dan cetak.

"Substansi berita sesungguhnya tidak digarap," ujar Ezki. Ia mencontohkan bagaimana sejumlah media bahkan mencoba menarik pembaca atau penonton dengan cara tidak etis, misalnya mengatakan "ketika diinterogasi tersangka pemerkosa malah tertawa-tawa."

Menurut Ezki hal ini tidak ada hubungannya dengan kasus pemerkosaan dan pembunuhan itu sendiri.

"Mengapa media tidak mengetengahkan hal-hal yang substansial, misalnya penderitaan fisik dan psikis yang dialami anak perempuan usia 14 tahun yang mengalami kekerasan seksual seperti YY, atau bagaimana mudahnya anak di bawah umur mendapatkan minuman keras."

Rating Jadi Ukuran

Tidak bisa dipungkiri bahwa bagaimana pun juga berita yang disajikan media seringkali merupakan jawaban atas minat masyarakat. Rating menjadi satu-satunya alat ukur berhasil tidaknya sebuah media menarik minat pembaca, tanpa peduli dengan keakuratan berita atau terpenuhi tidaknya kode etik jurnalistik.

Robertus Robet membenarkan asumsi tersebut.

"Media di Indonesia lebih banyak dideterminasi oleh kultur masyarakat. Mereka menafsirkan jenis dan model pemberitaan apa yang menyenangkan pembaca atau penonton. Kalau masyarakatnya suka dengan sensualitas dan kekerasan, maka media akan berupaya memenuhi kecenderungan-kecenderungan ini," ujarnya.

Tetapi ia menambahkan bahwa hal ini sebenarnya bisa diubah.

"Jangan sampai kebenaran massa menjadi kebenaran media. Atau kegoblokan massa menjadi kegoblokan media," katanya.

Di Indonesia ada beberapa organisasi pers yang kerap mensosialisasikan aturan dan kebijakan utama, termasuk kode etik jurnalistik dan P3SPS (Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran) misalnya. Tetapi media kerap tidak mempedulikan teguran atau sanksi yang dijatuhkan.

Jika pun peduli, paling tiarap beberapa saat tetapi kemudian kembali beroperasi seperti biasa. Ketika muncul kasus pembunuhan Engeline di Bali pada pertengahan tahun 2015 misalnya, media dikecam karena menampilkan foto wajah korban dan merinci hal-hal yang sepatutnya menjadi bagian dari penyidikan polisi.

Media sempat mematuhi teguran yang disampaikan. Tetapi ketika kasus pemerkosaan dan pembunuhan YY muncul akhir April lalu, sebagian media seakan lupa dengan kode etik itu.

Robet mengatakan sudah saatnya publik - termasuk keluarga korban - mengajukan tuntutan perdata ke media-media semacam itu. "Jadi ada pembelajaran serius. Sudah saatnya pekerja pers kembali dididik".

Ditambahkannya, jangan sampai media baru bekerja serius apabila ada isu-isu yang menyangkut kepentingan politik, industri dan bisnisnya sendiri.

"Tapi ketika menyangkut hak-hak perempuan, kekerasan simbolik dan hak-hak asasi, media tidak memiliki daya paedagogi untuk mendidik dan memperbarui masyarakat," tukasnya. [em]

XS
SM
MD
LG