Tautan-tautan Akses

Kebijakan Luar Negeri Trump Masih Belum Jelas


Presiden AS Donald Trump bersama Wapres Mike Pence (kiri) dan Menlu AS Rex Tillerson (duduk) di Gedung Putih (foto: dok).
Presiden AS Donald Trump bersama Wapres Mike Pence (kiri) dan Menlu AS Rex Tillerson (duduk) di Gedung Putih (foto: dok).

Presiden AS Donald Trump masih terus berubah-ubah sikap dan berupaya menguraikan kebijakan luar negerinya yang hendak mengutamakan kepentingan Amerika, sementara negara-negara lain bersiap-siap dan mengantisipasi perubahan dalam hubungan mereka dengan Amerika.

Pada kampanye yang lalu, Presiden Amerika Donald Trump menjanjikan perubahan kebijakan luar negeri besar-besaran, termasuk menemukan landasan bersama dengan Rusia, melakukan pendekatan garis keras dengan Iran dan China, dan mendukung kuat pemimpin Israel Benjamin Netanyahu. Namun satu bulan setelah berkuasa, pemerintah itu mencoba mendefinisikan ulang fokusnya.

Dalam pidato pelantikannya 20 Januari lalu, Presiden Amerika Donald Trump secara tegas mengatakan bahwa kebijakan luar negeri negara itu seharusnya diatur oleh satu prinsip.

“Mulai hari ini, Amerika yang harus diutamakan. Amerika adalah nomor satu. Prinsip ini harus tercermin dalam setiap keputusan tentang perdagangan, perpajakan, imigrasi dan urusan luar negeri,” ujar Trump.

Pada bulan pertama pemerintahannya, Presiden Trump mulai melakukan perubahan atas tradisi yang sudah berlangsung selama berabad-abad dalam hubungan internasional.

Trump baru-baru ini menerima kedatangan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu di Gedung Putih, menunjukkan era baru yang menandai kekompakan hubungan Amerika-Israel yang sempat tegang pada masa pemerintahan Presiden Barack Obama.

Ketika bertarung dalam pemilu, dalam salah satu kampanyenya Trump menjanjikan akan memindahkan kedutaan besar Amerika dari Tel Aviv ke Yerusalem, dan tampak bersimpati pada upaya pembangunan permukiman di Tepi Barat.

Namun sebagai presiden, Trump mengisyaratkan bahwa ia “akan mengkaji” kembali pemindahan kedutaan besar itu, dan menyerukan Israel untuk “menahan diri” dalam upaya perluasan permukiman.

Dalam konferensi pers bersama, Trump juga menjauhkan diri dari dukungan Amerika selama ini kepada solusi dua negara untuk menyelesaikan konflik Israel dan Palestina.

“Saya sedang mengkaji solusi dua negara dan satu negara, dan saya suka yang dikehendaki oleh kedua pihak,” imbuhnya.

Trump bertekad akan melarang Iran memiliki senjata nuklir, dengan mengecam perjanjian nuklir antara Iran dan enam negara adidaya dunia pada tahun 2015 sebagai “perjanjian yang sangat buruk”.

Bulan Februari lalu Trump memberlakukan sanksi-sanksi baru terhadap Iran sebagai tanggapan terhadap uji coba misil balistik yang dilakukan negara itu.

“Saya akan melakukan lebih banyak hal untuk mencegah Iran mengembangkan senjata nuklir, saya tegaskan untuk selamanya,” ungkapnya.

Trump berulangkali menyebut hubungan yang lebih erat dengan Rusia sebagai gagasan yang baik, meskipun Rusia memiliki hubungan dengan Iran dan adanya tuduhan bahwa Rusia telah mencampuri pemilu Amerika tahun 2016 lalu.

Kebijakan-kebijakan baru ini telah meresahkan sejumlah anggota Kongres dan sekutu-sekutu Amerika di Eropa.

Dalam kunjungan ke Brussels akhir pekan lalu, Wakil Presien Mike Pence berupaya meyakinkan mitra-mitra Eropa.

“Meskipun Amerika akan tetap meminta pertanggungjawaban Rusia, sesuai arahan Presiden Trump kami juga akan mencari landasan bersama yang baru, yang menurut Presiden Trump bisa dicapai,” kata Pence.

Ketika berkampanye Trump kerap mengecam China dan menuduhnya sebagai manipulator nilai tukar mata uang.

“Mereka tidak bermain sesuai aturan, dan saya tahu inilah saatnya mereka harus mulai bermain sesuai aturan,” gertaknya.

Trump juga berjanji akan memberlakukan tarif terhadap impor China dan mengubah kebijakan perdagangan. Sejauh ini pemerintah Trump masih belum mengeluarkan kebijakan apapun terkait hal itu, malah mengalihkan fokus geopolitiknya.

Terkait Taiwan, Trump setuju untuk menghormati kebijakan “Satu Cina”. Tetapi Amerika masih tetap mempertanyakan klaim China terhadap kawasan yang sangat luas di Laut Cina Selatan. Sekelompok kapal tempur Angkatan Laut Amerika baru-baru ini memulai “operasi rutin” di Laut Cina Selatan, meskipun ada peringatan dari China untuk tidak mencampuri kedaulatan China di kawasan itu.

Pengamat politik di CSIS Bonnie Glaser mengatakan, “Saya kira ada dorongan dalam pemerintah Trump supaya lebih tegas terhadap China, dan khususnya di Laut Cina Selatan. Tetapi dari pernyataan-pernyataan yang kita dengar sejauh ini, masih belum ada kebijakan yang jelas”.

Sementara Donald Trump masih terus berubah-ubah sikap dan berupaya menguraikan kebijakan luar negerinya yang hendak mengutamakan kepentingan Amerika itu, negara-negara lain bersiap-siap dan mengantisipasi perubahan dalam hubungan mereka dengan Amerika. [em/jm]

XS
SM
MD
LG