Puluhan orang berdemonstrasi di depan Gedung Putih beberapa jam setelah Presiden Donald Trump menyatakan mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel Rabu siang (6/12). Mereka umumnya memprotes kebijakan itu dan menuntut Trump untuk membatalkan pengakuan yang merupakan penegasan atas UU Kedutaan Amerika di Yerusalem yang dikeluarkan Kongres pada tahun 1995 lalu.
Taher Herzallah, ilmuwan yang berasal dari Palestina, bersama kelompoknya mengecam keras pengumuman yang menurutnya justru akan semakin mengobarkan konflik di Israel-Palestina.
“Tidak masuk akal jika Trump mengatakan pengakuan ini merupakan pendekatan baru untuk menyelesaikan konflik itu setelah selama ini presiden-presiden sebelumnya memilih tidak mengakui secara resmi Yerusalem sebagai ibukota Israel. Pengakuan ini menunjukkan Amerika tidak bisa bersikap netral dalam penyelesaian konflik ini dan tidak lagi bisa jadi mediator bagi kami,” tegasnya.
Hal senada disampaikan Rabbi Yisroel Dovid Weiss yang datang dengan sekelompok warga Yahudi yang tinggal di Washington DC.
“Bagi kami sebagai warga Yahudi, pengumuman ini bukan berarti kemenangan bagi kami. Justru seperti menaburkan garam pada luka terbuka yang tak kunjung sembuh. Bukan menyembuhkan, malah semakin memperparah luka ini," kata Rabbi Weiss.
"Kami mohon kepada Presiden Trump untuk membatalkan dekrit bahwa Yerusalem adalah ibu kota Israel. Ini benar-benar tidak dapat diterima, terutama bagi kami yang sungguh-sungguh menganut Yudaisme,” demikian harapan Weiss yang datang mengenakan atribut Yahudi.
Suhu sangat dingin tidak menyurutkan demonstran dari berbagai kelompok masyarakat di Amerika mendatangi Gedung Putih silih berganti hingga malam hari. Sementara aparat keamanan mengamati dari beberapa sudut Gedung Putih agar demonstrasi tetap terkendali. [em]