Tautan-tautan Akses

Mencegah Penularan SARS di Pesawat Terbang - 2003-11-11


Pertemuan para periset SARS atau atau sindrom pernafasan akut di Jenewa yang diselenggarakan Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO) memperingatkan kemungkinan berjangkitnya kembali SARS. Di Amerika, kenyataan ini mendorong anggota DPR Amerika untuk mempertanyakan kualitas udara di kabin pesawat, mengingat jenis transportasi ini paling rentan dalam menyebarkan SARS. Namun, apakah peningkatan kualitas udara bisa mencegah penularan SARS?

Di abad pertengahan, kapal yang datang ke Venesia akan melepaskan jangkar dan menunggu di lepas pantai. Mereka melakukan quaranta giorni, artinya karantina 40 hari, untuk melindungi kota dari wabah penyakit.

Kini, dengan munculnya kasus SARS (sindrom pernapasan akut), seperti mengingatkan, betapa dramatisnya perjalanan udara dalam mengabaikan hal itu. SARS menyebar cepat menyusul perjalanan udara yang dilakukan orang-orang yang terinfeksi penyakit itu.

Para pelancong yang tertular bisa menjelajah berbagai penjuru dunia dalam hitungan jam, jauh sebelum gejala-gejala penyakit ini muncul. Dalam beberapa hari setelah kasus SARS dilaporkan di belahan bumi Barat, penyakit itu sudah mewabah di lebih dari 15 negara.

Penyakit menular dan pesawat udara menjadi salah satu fokus pembicaraan dalam sebuah seminar berjudul Syndromic Surveillance: Outbreak Detection and Disease Monitoring, di Washington DC beberapa waktu lalu. Para pakar kesehatan yang hadir dalam seminar itu mencemaskan bahwa pesawat udara bisa menjadi pintu masuk berbagi penyakit menular ke Amerika .

Berbagai upaya dilakukan perusahaan penerbangan untuk mencegah atau meminimalkan kemungkinan ini. Satu diantaranya adalah dengan menginstruksikan pilot untuk meningkatkan jumlah udara segar yang mengalir di kabin.

Namun, apakah benar perbaikan kualitas udara bisa mencegah penularan SARS? Sebuah studi yang dipublikasikan Journal of the American Medical Association, mengungkapkan, upaya yang dilakukan perusahaan penerbangan itu sebetulnya tidak diperlukan.

Studi yang dilakukan para peneliti di Universitas California, San Francisco, itu membandingkan jumlah penumpang yang terkena flu setelah terbang dengan dua kelompok pesawat yang mengalirkan volume udara segar berbeda.

Kelompok pertama, adalah penumpang pesawat Boeing 727 dan DC 10 yang mengalirkan 100% udara segar. Kelompok kedua adalah penumpang pesawat Boeing 737 terbaru, yang hanya menyuplai 50% udara segar dan sisanya udara hasil sirkulasi ulang.

Tidak ada perbedaan statistik antara jumlah penderita flu di kedua kelompok itu. Sirkulasi ulang udara tidak meningkatkan resiko terkena flu.

Kenyataan ini sedikit berbeda dengan studi yang dilakukan terhadap barak-barak militer tertutup di Amerika. Studi yang juga dilakukan Universitas California ini menunjukkan, udara yang disirkulasi ulang ternyata meningkatkan tingkat penularan virus flu.

Para pakar kesehatan mengakui, melacak penyebaran penyakit melalui penerbangan merupakan hal sulit. Mereka juga tidak tahu bagaimana cara efektif untuk mencegahnya. Apalagi, dewasa ini belum ada peraturan-peraturan yang memungkinkan dilakukannya pemantauan dini secara menyeluruh dan seragam.

Saat ini, contohnya, tidak ada standar internasional yang mengatur posisi pengaturan tempat duduk, atau aturan yang mewajibkan perusahaan penerbangan untuk mengungkapkan informasi-informasi berkenaan dengan kesehatan penumpang kepada pejabat kesehatan.

Yang juga tidak kalah memprihatinkan, menurut Dr. Alvin Fox, pakar kualitas udara dan bioterorisme dari Fakultas Kedokteran Universitas South Carolina, masalah-masalah yang muncul dalam penerbangan jarang mendapatkan publisitas. Fox mengatakan, ini karena perjalanan hanya berlangsung beberapa jam dan para penumpangnya sudah tersebar ke mana-mana sebelum mereka jatuh sakit.

Diterjemahkan oleh Arif Budiman

XS
SM
MD
LG