Tautan-tautan Akses

US SUPREME COURT ADDRESSES RACE - 2003-07-15


Baru-baru ini cabang ketiga tatanan Amerika, yaitu Mahkamah Agung menunjukkan betapa pentingnya mengimbangkan kekuasaan cabang eksekutif yang dipimpin oleh Presiden, dan cabang legislatif yang beranggota 535 orang, yaitu Kongres.

Mahkamah Agung Amerika Serikat memutuskan bahwa universitas Amerika boleh menggunakan ras sebagai kriteria dalam menentukan siapa yang akan diterima.

Orang Amerika menunggu keputusan itu dengan rasa cemas. Tidak ada yang tahu bagaimana hasilnya. Lima hakim anggota Mahkamah Agung mendukung keputusan itu dan empat hakim menentang.

Perbedaan suara tipis itu mencerminkan orang Amerika hampir sama kuat berpecah pendapat tentang affirmative action yaitu memberi preferensi dalam kesempatan kerja, pendidikan , kontrak kerja dan lain-lain kepada golongan minoritas dan perempuan. Semula affirmatice action dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada kedua golongan minoritas mengejar ketinggalan mereka akibat diskriminasi masa lalu.

Warga Amerika keturunan Asia juga berpecah pendapat. Angket pendapat umum baru-baru ini menunjukkan hampir separuh mendukung affirmative action dan separuh lagi menentang.

Dengan keputusan Mahkamah Agung itu berarti banyak sekolah akan terus memberikan preferensi kepada warga Amerika keturunan Afrika, Hispanik, dan suku Indian atau pribumi.

Tetapi warga Amerika keturunan Asia tidak memperoleh banyak manfaat langsung dari keputusan Mahkamah Agung tersebut. Kurang lebih satu juta warga Amerika keturunan Asia kuliah di perguruan tinggi dan universitas Amerika. Menurut sejarah, sebagian besar universitas memasukkan mereka ke dalam golongan kulit putih dan tidak memberi mereka suatu keringanan.

Tetapi National Asian Pacific American Legal Consortium disingkat NALPC menyambut baik keputusan Mahkamah Agung Amerika itu. NALPC terdiri dari organisasi-organisasi dari 28 negara termasuk Cina, Jepang, Filipina, Kamboja, Korea, Laos , Thailand, dan Vietnam.

Mahasiswa Amerika asal Asia tidak memperoleh manfaat langsung dari keputusan ini. Mereka dijamin sebagai bagian dari masyarakat Amerika dan Mahkamah Agung mengakui bahwa diskriminasi ras tetap menjadi faktor yang mempengaruhi semua golongan minoritas.

Ketua NALPC Karen N. Narasaki mengatakan dua minggu sebelumnya bahwa meskipun warga Amerika keturunan Asia menempati kedudukan yang kuat dalam pendidikan tinggi, mereka masih menghadapi diskriminasi dalam pekerjaan dan kontrak-kerja. Waktu itu ia khawatir kalau Mahkamah Agung menghapus preferensi ras dalam penerimaan siswa, keputusan itu dapat menyebarluas secara negatif ke lapangan kerja.

Dalam hampir 50 tahun sejak Mahkamah Agung menetapkan bahwa segregasi atau pemisahan di sekolah-sekolah tidak konstitusional, banyak yang sudah berubah. Gerakan Hak Sipil tahun-tahun 1960-an memberi warga kulit hitam hak memilih atau memberikan suara di negara-negara bagian yang tadinya tidak memberikan hak itu. Sekarang, banyak pemimpin bisnis, politik dan militer menyebut keaneka-ragaman adalah krusial bagi organisasi-organisasi dan masyarakat.

Kasus yang diputuskan belum lama ini tersebut bersumber dari kebijaksanaan penerimaan mahasiswa baru Fakultas Hukum Universitas Michigan. Universitas itu mengatakan bahwa affirmative action adalah kunci untuk menciptakan lingkungan belajar yang majemuk dari segi ras, etnis, geografis, gender, dan latar belakang ekonomis. Sebagian besar universitas terkemuka mempunyai kebijakan serupa.

Ketetapan yang diambil berdasarkan suara mayoritas oleh Mahkamah Agung tersebut menegaskan kembali keputusan utama tahun 1954 mengenai desegregasi bahwa sekolah-sekolah memerlukan orang-orang dari semua ras untuk mengisi peranan mereka dalam membentuk budaya.

Amerika Serikat memerlukan semua ras dan kelompok etnis untuk berpastisipasi secara aktif dalam kehidupan bangsa kalau impian mereka sebagai “Satu Bangsa, yang tidak terbagi-bagi” ingin diwujudkan.

Diterjemahkan oleh Purwati Soeprapto

XS
SM
MD
LG