Tautan-tautan Akses

Gereja Amerika Mendirikan Mesjid di Afghanistan - 2003-03-20


Tolong menolong membangun rumah ibadah sudah sering terjadi di Indonesia. Di kota New York baru-baru ini pengurus sebuah daerah keuskupan memrakarsai pembangunan kembali sebuah masjid yang rusak di Afghanistan.

Adalah Uskup Mark S. Sisk dari daerah keuskupan Episkopalian New York, yang mempunyai keyakinan bahwa kita semua ini makhluk Tuhan dan karenanya umat manusia dari keyakinan apa pun harus saling menghormati terutama menghormati agama lain.

Dengan keyakinan seperti itulah, tidak mengherankan, ketika ia mendengar dari pesawat radio bahwa sebuah masjid di sebuah desa di Afghanistan mengalami kerusakan akibat bom yang keliru dijatuhkan oleh pesawat Amerika, tergeraklah hatinya untuk membangun kembali masjid itu.

“Kita mempunyai demokrasi, dan karenanya sampai tingkat tertentu kita mempunyai tanggung jawab moral bagi apa yang dilakukan oleh pemerintah kita,” katanya kepada harian New York Times yang mengungkapkan cerita ini.

Uskup Sisk pun diperkenalkan oleh Dutabesar Afghanistan untuk PBB, Ravan Farhadi dengan Mohammad Sherzad, presiden dan imam Masjid Hazrat I Abubakr Sidiq di Flushing, New York. Masjid ini didirikan oleh komunitas Muslim Afghanistan di kota itu.

Kedua masyarakat itu pun mulai melangkah, mengumpulkan sumbangan. Dari jamaahnya, Uskup Sisk, menurut harian New York Times itu, berhasil mengumpulkan uang sebesar $20,000, sedang masjid Abubakr Sidiq setelah shalat Jumat, berhasil mengumpulkan $8,000 dan ada pula sumbangan $ 3,000 dari umat Islam di California.

Imam Sherzad, seperti dikutip oleh harian New York Times, semula agak terkejut ketika mendengar usul dari keuskupan New York itu. Dari jamaahnya sendiri, tidak ada yang keberatan kalau umat dari agama lain memberikan sumbangan untuk membangun masjid yang rusak di Afghanistan. “Siapa yang memiliki kitab dari Tuhan,” kata Imam Sherzad seperti dikutip New York Times, “harus saling membantu.” Islam menyebut orang-orang Kristen dan Yahudi adalah ‘ahli kitab’ artinya umat yang memperoleh kitab suci dari Tuhan.

Tetapi langkah Uskup Sisk itu bukannya tanpa tentangan. Sebagian jamaahnya tidak menyetujui gereja ikut membangun rumah ibadah agama lain. Bagi mereka, masih banyak gereja yang harus dibangun, terutama di daerah-daerah seperti Afrika. Kritikan ini dijawab oleh Uskup Sisk, bahwa jamaah dari keuskupannya sudah juga membangun banyak gereja di kawasan-kawasan yang disebutkan itu. Dan yang lebih penting lagi, katanya, rakyat Amerika mempunyai kewajiban untuk membangun masjid di Afghanistan itu, katanya.

Ada juga yang menuduh keuskupan New York itu mencampur adukkan berbagai kepercayaan, jadi ada motif yang sifatnya sinkretis. Itu tidak benar, tangkis pejabat-pejabat daerah keuskupan gereja Episkopalian New York itu. Dialog antar kepercayaan adalah salah satu ajaran gereja Episkopalian, kata mereka.

“Agama Kristen mengajarkan kasih tanpa syarat,” kata Dr. Lucinda Mosher, ketua Komite Hubungan Episkopalian-Muslim daerah keuskupan itu yang mengorganisir sumbangan untuk masjid di Afghanistan itu, “dan tidak ada yang lebih baik melukiskan kasih tanpa syarat itu daripada membangun sebuah rumah ibadah untuk sebuah komunitas yang bukan komunitas Anda sendiri,” katanya.

Masjid di Afghanistan yang dibangun itu terletak di desa Qarhabagh, dan menurut rencana, seperti diberitakan oleh harian New York Times, hari Rabu yang lalu masjid itu sudah diresmikan.

XS
SM
MD
LG