Tautan-tautan Akses

Iran Bersikeras Lanjutkan Program Nuklir


Sementara perhatian dunia tertuju pada Irak pada tahun 2006, negara tetangganya, Iran, juga mengundang kritik. Iran bersikeras melanjutkan program nuklir mereka, yang menurut Teheran bertujuan untuk menyediakan energi. Namun pendirian ini banyak ditentang negara lain, yang curiga Teheran sedang mengembangkan senjata nuklir.

Tiga bulan setelah Iran menghidupkan kembali aktivitas di pabrik nuklir Natanz pada bulan Januari 2006, Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad dengan bangga mengumumkan pada dunia, negaranya telah berhasil melakukan pengayaan uranium.

Walaupun jumlah uranium yang diproduksi Iran pada tahun 2006 belum cukup untuk membuat senjata nuklir, langkah ini mengundang protes internasional.

Uni Eropa menawarkan insentif agar Iran menghentikan pengayaan uraniumnya, sementara Presiden Amerika Serikat George W. Bush bahkan menawarkan bergabung dengan negara-negara Eropa dalam berdialog dengan Iran, tentunya dengan syarat bila pengayaan uranium dihentikan.

”Saya harap Iran mengambil langkah yang diinginkan oleh seluruh dunia, untuk tidak menghasilkan senjata. Tidak perlu mengisolasikan rakyat Anda, tidak perlu untuk terus bersikap keras kepala. Ini bukan untuk kepentingan Anda,” tegas Presiden Bush.

Namun tawaran ini tidak diterima oleh Teheran, yang bersikeras hanya ingin mengembangkan energi nuklir, bukan senjata.

Pada tanggal 31 Juli, Dewan Keamanan PBB mengeluarkan tenggat waktu 30 hari bagi Irak untuk menghentikan pengayaan uranium, namun tidak memberikan ancaman hukuman.

Menurut mantan Menteri Pertahanan AS William Cohen, resolusi PBB yang tidak disertai langkah nyata, tak akan membuat Iran tunduk.

”Bila Anda meloloskan undang-undang atau resolusi yang tidak dijalankan, maka dengan sendirinya Anda memberikan ruang bagi orang untuk tidak menghormatinya,” jelas Cohen. “Karena itu saya pikir sangatlah penting bagi Rusia dan China, yang telah menandatangani resolusi itu, untuk melarang Iran mendapatkan senjata nuklir, dan memberikan sinyal bahwa mereka siap melaksanakan resolusi itu. Barulah Amerika Serikat akan mendapat pengaruh lebih besar.”

Sepanjang tahun 2006, Amerika Serikat berupaya menggalang dukungan agar Dewan Keamanan PBB memberikan sanksi berat bagi Iran. Namun Rusia dan China, yang memiliki investasi dan hubungan perdagangan erat dengan Iran, menolak.

Menurut Kenneth Katzman, pengamat Iran di lembaga Congressional Research Service, tak ada kesatuan pendapat dalam isu Iran. “Rusia dan China mungkin mengatakan, ‘Mengapa kita harus menghukum Iran sekarang? Mereka tidak melanggar hukum secara dramatis, sampai titik dimana mereka terbukti memiliki ambisi senjata nuklir,” ujar Katzman.

Beberapa pengamat lain bahkan mengusulkan serangan militer atas Iran, untuk menghancurkan fasilitas nuklir mereka.

“Di kawasan dimana tak ada pilihan yang baik, saya pikir serangan militer terhadap infrastruktur akan berdampak besar,” kata Wayne White dari Middle East Institute. “Menurut saya, Iran, walaupun selalu mengeluarkan retorika, tak akan meluncurkan senjata nuklir ke Israel, karena mereka tahu akan mengundang serangan balasan yang dapat menghancurkan mereka.”

Namun White mengaku sangat khawatir terhadap prospek persaingan senjata di Timur Tengah, terutama bila Arab Saudi ingin menyaingi Iran dalam membangun persediaan senjata nuklir, meskipun hanya untuk keperluan menjaga diri.

“Saya rasa bila Iran sampai memiliki senjata nuklir, Arab Saudi pun akan melakukan hal yang sama, dan orang-orang akan bertanya, ‘bagaimana itu terjadi, karena mereka tidak memiliki program nuklir?’ Lalu negara-negara lain akan membeli bom dari Pakistan,” ujar White.

Menurut banyak pengamat, sikap Iran banyak ditentukan oleh presidennya, Mahmoud Ahmadinejad. Sejak terpilih pada pertengahan tahun 2005, Ahmadinejad sering membuat pernyataan dan mengambil langkah kontroversial, termasuk saat ia mempertanyakan apakah benar terjadi pembunuhan enam juta orang Yahudi dalam peristiwa Holocaust, pada Perang Dunia II. Iran menutup tahun 2006 dengan menyelenggarakan konferensi mempertanyakan kebenaran Holocaust, yang banyak mengundang reaksi negatif dari masyarakat internasional.

XS
SM
MD
LG