Tautan-tautan Akses

Teater 'Under the Radar' Tampilkan Teater Unik dari Seluruh Dunia


Adegan dari "Samedi Détente," yang tampil pada 14-17 Januari 2016 di New York Public Theater. (Laura Fouqueré courtesy photo)
Adegan dari "Samedi Détente," yang tampil pada 14-17 Januari 2016 di New York Public Theater. (Laura Fouqueré courtesy photo)

Setiap bulan Januari, ketika suhu semakin dingin, Teater Publik New York mengadakan Under the Radar, festival yang menampilkan teater unik dari seluruh dunia. Terkadang, pertunjukan ini cukup disorot, seperti Gatz, adaptasi dari The Great Gatsby.

Tahun ini, Under the Radar menampilkan belasan karya dari seluruh dunia; Chile, Jepang, Prancis, Kanada, dan AS.

Salah satu karya yang paling menyentuh adalah sandiwara tari oleh Dorothée Munyaneza. Samedi Détente adalah mengenai masa lalunya sebagai remaja 12 tahun yang berupaya menyelamatkan diri dari genosida di Rwanda tahun 1994. Dalam perbincangan telepon dari rumahnya di Prancis, Munyaneza mengatakan dia memulai karya ini dua tahun lalu.

"Secara simbolis, ini sangat berarti bagi saya untuk mengulas kembali kenangan saya, kisah saya, 20 tahun kemudian. Dan saya memilih untuk menulis dan membuat karya koreografi, musikal, sejarah dan cerita ini," kata Munyaneza.

Dia memulai sandiwaranya dengan mengenakan baju biru, yang terinspirasi seragam sekolahnya, duduk di atas meja sambil melantunkan sebuah lagu, menemani seorang laki-laki yang sedang mengasah parang.

"Benda itu yang biasanya digunakan untuk memotong kayu atau menyembelih hewan untuk dimakan, tiba-tiba jadi alat pembunuhan massal yang keji," tambahnya.

Adegan dari "Samedi Détente," yang tampil pada 14-17 Januari di New York Public Theater. (Laura Fouqueré courtesy photo)
Adegan dari "Samedi Détente," yang tampil pada 14-17 Januari di New York Public Theater. (Laura Fouqueré courtesy photo)

Meiyin Wang dan Mark Russell, direktur artistik Under the Radar mengatakan kisah-kisah ekstrem seperti Samedi Détente memiliki pesan universal.

"Ini untuk semua orang. Semua kisah ini memiliki tujuan, semua bisa memahaminya tanpa mengetahui sejarahnya," ujar Russell.

Munyaneza mengatakan lewat karyanya, dia berupaya menemukan kedamaian.

"Saya ingin membagi kisah ini. Saya ingin meninggalkan sesuatu pada benak orang-orang yang menyaksikannya. Dan itu sesuatu yang hanya bisa saya lakukan lewat seni," tambah Munyaneza.

Lalu mengapa teater? Russel mengatakan itu adalah pertanyaan yang diajukannya kepada para seniman yang terlibat dalam Under the Radar.

Menurut Russel "Jaman sekarang ini, ada banyak cara untuk menceritakan kisah, semua orang punya kamera, semua orang menceritakan kisah, dan ada banyak cara lain yang lebih murah untuk melakukannya. Lalu mengapa lewat teater sekarang?"

Jawabannya, kata Russel, ada pada karya-karya itu sendiri. Penonton bisa menikmatinya seperti dalam festival film, yaitu menyaksikan tiga, empat atau lima karya dalam sehari.

Beberapa karya lain yang ditampilkan termasuk penyanyi Inuit yang juga seorang komposer elektronik, yang mengilustrasikan film bisu Nanook of the North. Atau sepasang penyair transgender Asia Selatan yang melakukan pertunjukkan cabaret.

Dan itulah yang ingin ditampilkan para direktur artistik Under the Radar: karya yang unik, mendesak, namun relevan. [vm/jm]

XS
SM
MD
LG