Tautan-tautan Akses

Sidney Jones: Blokir Situs Radikal bukan Solusi Cegah Radikalisme


Analis menilai pemblokiran situs-situs internet yang dianggap radikal bukan solusi dalam mencegah penyebaran radikalisme (foto: ilustrasi).
Analis menilai pemblokiran situs-situs internet yang dianggap radikal bukan solusi dalam mencegah penyebaran radikalisme (foto: ilustrasi).

Sebagai tanggapan atas sejumlah konflik antar agama di Indonesia, pemerintah telah memblokir 300 situs yang dianggap ekstrimis. Namun, beberapa analis mengatakan metode yang lebih baik dalam melawan pesan kebencian adalah melalui internet yang dijalankan oleh pemeluk agama yang moderat.

Tujuh orang tewas dan ratusan rumah serta kendaraan dibakar dalam kerusuhan mematikan di Ambon, Indonesia Timur, 11 September lalu. Kerusuhan pecah setelah kematian seorang pria Muslim, yang menurut kabar angin telah ditangkap dan disiksa oleh orang-orang Kristen. Kabar angin tersebut menyebar melalui SMS, Twitter dan Facebook.

Seusai serangan, situs-situs militan seperti Arrahmah.com memasang pesan-pesan untuk menggalang persenjataan yang lebih baik dan lebih banyak penyerang. Situs ini dibuat oleh Muhammad Jibril, pemimpin Jemaah Islamiyah.

Situs lain menulis bahwa selama Muslim di Ambon terus ditekan, serangan bom bunuh diri seperti di Solo akhir bulan September akan berlanjut.

Sebagai tanggapan atas sejumlah konflik antar agama di Indonesia, pemerintah telah memblokir 300 situs yang dianggap ekstrimis. Meskipun upaya tersebut dilakukan, ratusan lebih situs yang mendukung jihad masih tersedia di internet.

Beberapa analis mengatakan metode yang lebih baik dalam melawan pesan kebencian mungkin melalui taktik internet yang dijalankan oleh pemeluk agama yang moderat.

Sidney Jones, analis terorisme dari International Crisis Group (ICG)
Sidney Jones, analis terorisme dari International Crisis Group (ICG)

Menurut Sidney Jones, analis terorisme dari International Crisis Group (ICG), situs jejaring sosial adalah cara yang penting bagi kelompok jihad untuk memperkuat ideologi mereka dan menghasut emosi massa. Tetapi menurutnya, memblokir situs semacam itu bukanlah solusinya.

“Tiga ratus situs telah diblokir, tetapi yang paling berbahaya masih ada dan bertambah, jadi tidak jelas tujuan apa yang hendak dicapai. Selain itu, kalau memblokir suatu situs, situs lain muncul oleh kelompok orang yang sama dalam waktu sekitar enam jam, terutama dengan banyaknya blog dan lain-lain, ” ujar Jones.

ICG baru-baru ini merilis laporan yang merinci bagaimana kalangan ekstrimis memanipulasi berbagai ketegangan belakangan ini di Ambon dengan memasang pesan-pesan yang menghasut di internet. Laporan tersebut juga melihat bagaimana sebuah organisasi antar-agama yang moderat memakai jejaring sosial untuk melawan pesan-pesan kebencian.

Ketika organisasi Muslim dan Kristen Ambon, bernama Provokator Perdamaian mendengar kabar angin bahwa sebuah gereja telah dirusak, mereka mengambil foto gereja itu yang utuh dan menyebarkannya di situs-situs jejaring sosial.

Slamet Effendi Yusuf, Tokoh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), mengutuk konflik agama di Ambon dan serangan bom bunuh diri di gereja di Jawa Tengah itu.

Meskipun mengakui bahwa situs jejaring sosial bisa menjadi cara bagus untuk mempromosikan toleransi, ia mengatakan masih banyak yang perlu dilakukan untuk memerangi terorisme. Terorisme di Indonesia, tegasnya, hanya dapat diberantas bila pemahaman agama sejalan dengan negara, yang menganjurkan pluralisme dan masyarakat berdasarkan pada keadilan dan kesejahteraan. Berbagai upaya menyeluruh untuk membangun hubungan baik antar komunitas agama dibutuhkan pada tingkat paling bawah, tegas Effendi.

Sementara itu, jutaan orang Indonesia menggunakan internet beberapa tahun terakhir ini karena akses internet telah membaik.

Meskipun sejumlah kiai pada mulanya skeptis terhadap jaringan internet dan dampaknya terhadap moralitas, sekarang ada 40 juta pengguna Facebook di Indonesia, terbesar kedua setelah Amerika.

XS
SM
MD
LG