Tautan-tautan Akses

Pemerintah Aceh Siapkan Pelabuhan Ekspor Tuna Kelas Dunia


Pelabuhan Perikanan Kuala Meureudu merupakan Salah satu lokasi alternatif pembangunan Pelabuhan Ekspor Tuna dengan fasilitas modern di Pidie Jaya, Aceh.
Pelabuhan Perikanan Kuala Meureudu merupakan Salah satu lokasi alternatif pembangunan Pelabuhan Ekspor Tuna dengan fasilitas modern di Pidie Jaya, Aceh.

Pemerintah Aceh untuk pertama kalinya tahun ini mulai merintis peningkatan status sejumlah pelabuhan perikanan di provinsi itu, salah satunya mempersiapkan pelabuhan ekspor tuna berstandar internasional.

Pelabuhan ekspor tersebut rencananya menjadi salah satu infrastruktur prioritas yang mendukung pengembangan sejumlah komoditi ekspor lain di provinsi itu, termasuk ekspor komoditi perkebunan, pertanian dan hasil industri lainnya.

Pihak pemerintah Aceh optimis mampu merampungkan pembangunan dan modernisasi infrastruktur pelabuhan berstandar ekspor tersebut, salah satunya berlokasi di Kabupaten Pidie Jaya, provinsi Aceh.

Beberapa lokasi pelabuhan ekspor yang rencananya akan dibangun, antara lain pelabuhan perikanan Kuala Meureudu, merupakan pelabuhan terpadat dengan kapal-kapal nelayan berukuran cukup besar bersandar, serta beberapa lokasi alternatif lain, terutama di kawasanPante Raja dan Simpang Ulim Kabupaten Pidie Jaya.

Bupati Pidie Jaya, Gade Salam mengatakan Jumat (3/2) rencana pembangunan fasilitas pelabuhan ekspor di wilayahnya mendapat dukungan pemerintah pusat dan pemerintah provinsi.

“Kita sedang upaya adanya dana-dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dari pusat itu turun. Sektor perikanan (laut) cukup menjanjikan di Pidie Jaya. Terkait investor yang berminat menanamkan modalnya, pihak kami akan bantu semaksimal mungkin,” ujar Gade Salam.

Menurut Gade Salam, Qanun Investasi (Peraturan daerah) yang digagas pemerintah Aceh telah membuka peluang cukup besar bagi masuknya investor dari dalam dan luar negeri, terutama dalam mengembangkan berbagai fasilitas ekonomi sektor perikanan dan berbagai industri lainnya disejumlah wilayah, terutama kabupaten potensial seperti Pidie Jaya.

VOA mencatat, sejak ditetapkan sebagai wilayah otonomi baru tahun 2008 oleh pemerintah pusat, Kabupaten Pidie Jaya diharapkan akan mampu lebih bangkit menjadi penopang ekonomi utama, termasuk memperkuat beberapa komoditi ekspor Aceh, terutama dari sektor perikanan laut, pertanian dan perkebunan.

Salah seorang pemuda Meureudu, Mulyadi (27 tahun) mengatakan, sebagai sentra produsen tuna (tankap) di Aceh, nelayan di wilayahnya cukup tertolong jika pelabuhan ekspor dibangun, terutama terkait erat dengan masalah harga dan kualitas tangkapan.

Mulyadi ACT “Tuna wilayah perairan Meureudu (Aceh) siripnya panjang, siripnya agak biru, ditempat lain siripnya agak kuning dan pendek siripnya. Kalau lihat difoto itu tuna itu seberat 70 kilogram.”

Sementera, menurut Tengku Faisal (55 tahun), Kebanyakan nelayan wilayahnya, di Teupin Pukat,Meurah Dua Pidie Jaya hanya memiliki kapal sejenis boat terbuat dari kayu,bermesin ukuran kecil, dengan sekitar 300 unit boat nelayan. Faisal mengaku hasil tangkapan tuna cukup lumayan.

Beberapa nelayan mengatakan, ikan tuna tangkapan mereka dibeli oleh pedagang lokal yang sebagian besar dijual kembali ke wilayah lain, terutama ke kalangan saudagar besar di provinsi Sumatera Utara.

Pemuda Teupin Pukat Pidie Jaya, Irwan M Yusuf, dengan tuna tangkapannya seberat lebih dari 70 kilogram.
Pemuda Teupin Pukat Pidie Jaya, Irwan M Yusuf, dengan tuna tangkapannya seberat lebih dari 70 kilogram.

Kalangan pemuda Teupin Pukat mengatakan, ratusan tuna dalam kondisi cuaca normal bisa ditangkap, dan memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi. Mulyadi, pemuda Teupin Pukat Pidie Jaya menambahkan,setiap satu perahu (boat) nelayan rata-rata menangkap 2 ekor tuna sirip biru dengan berat diatas 50 kilogram.

“Pasar tuna di lokal (Meureudu, PidieJaya) Rp 27 ribu per kilogram sekarang ini,” kata Mulyadi.

Mulyadi mengakui dalam keadaan cuaca buruk secara ekonomi nelayan sering lebih terpuruk. Kalangan muda nelayan minta pemerintah kabupaten turun tangan merintis berbagai unit usaha melalui koperasi yang dapat menampung sekitar 100 pemuda nelayan.Dari pantauan VOA, diluar profesi sebagai nelayan hanya sebagian kecil warga Pidie Jaya yang memilih menjadi pekerja bangunan dan bertani di sawah saat tidak melaut.

Maman mengatakan, “Beberapa wilayah lain nelayan sering dapat bantuan dari pemerintah,kail diberi, boat ukuran besar juga janji diberikan, tapi semua belum jelas.

Sementara menurut Abu, “Kalau Pemda mau bantu, sementara ini kami butuh koperasi pemuda nelayan, terdiri unit simpan pinjam, jual beli alat pancing serta beragam jasa lainnya terkait nelayan dan kepemudaan.”

Beberapa warga Meureudu Pidie Jaya menyambut positif rencana pemerintah daerah untuk meningkatkan status pelabuhan sandar nelayan, menjadi pelabuhan ekspor.Namun mayoritas mereka minta, agar pemerintah, jangan sampai dengan alasan investasi membuat masa depan nelayan dan warga lokal terabaikan masalah kesejahteraannya.

Dari pantauan VOA terdapat lebih seribu nelayan yang menggantungkan mata pencaharian mereka dari menangkap tuna dan berbagai hasil lautan di sekitar perairan Meureudu, Provinsi Aceh.

Praktisi ekonomi Iwan Perala mengatakan, pembangunan infratsruktur pelabuhan ekspor di sejumlah tempat di tanah air dapat menopang perekonomian sektor perikanan tangkap (maritim). Sementara menurut Iwan, terkait rencana pembangunan pelabuhan ekspor di Pidie Jaya cukup strategis dan berbatasan langsung dengan akses perdagangan melalui jalur laut terpadat di dunia, yaitu berada di sekitar perairan selat Malaka.

“Pembangunan itu harus melibatkan para pihak,terutama pemeritah dan parlemen, artinya sejauh mana kesiapan pemerintah dan masyarakat kita untuk didorong, karena ini juga menjadi ranah (peluang) lapangan pekerjaan, peningkatan sosial ekonomi kita,” ujar Iwan Perala.

Kalangan praktisi maritim sebelumnya mengatakan, wilayah tangkapan tuna di Aceh salah satu yang terluas di Asia, mencakup hingga berbatasan dengan perairan (internasional) di Selat Malaka, Laut Andaman serta Samudera Hindia di bagian barat dan utara provinsi Aceh.
Bupati Pidie Jaya Aceh, Gade Salam menambahkan, kehadiran pelabuhan ekspor yang lebih layak di Aceh, akan mempersatukan komitmen para pihak dalam mengahadapi masalah-masalah lingkungan, stabilitas harga, kualitas dan kapasitas tangkapan hasil perikanan laut termasuk tuna, agar lebih proporsional sesuai kebutuhan pasar ekspor, baik lokal maupun global.

Gade Salam mengungkapkan, “Kita tengah jajaki kawasan strategis dan prioritas. Hasil tangkapan tuna di Pidie Jaya cukup bagus, dan seluruh tangkapan nelayan itu dapat kita ekspor, harapannya tentu kita akan menampung seluruh tangkapan nelayan dan menjaga stabilitas harga.”

Wakil Gubernur Aceh Muhammad Nazar mengatakan baru-baru ini di Banda Aceh, bahwa tahun 2012 ini Aceh mulai merintis sejumlah pembangunan fasilitas ekspor di sejumlah wilayah di provinsi itu, terutama pelabuhan laut dan berbagai industri penunjang, termasuk penyediaan infrastruktur dalam mengatasi masalah-masalah energi.

Muhammad Nazar menjelaskan, “Saya mengusulkan anggarannya lebih Rp 20 Triliun untuk sektor tersebut, selain infrastrukturnya, untuk pelabuhan perikanan kita usulkan induknya di Lampulo,Banda Aceh penyangganya di pantai barat selatan, serta pantai timur (Aceh) khususnya.”

Sumber VOA di Pemerintah Aceh menyebutkan, disamping investor lokal dan nasional, sejumlah negara yang menaruh minat cukup besar berinvestasi bidang perikanan dan kelautan di Aceh, antara lain, Tiongkok,Korea Selatan, Jepang, Irlandia, Amerika Serikat, Rusia dan Norwegia.

Kalangan praktisi perikanan dunia meyakini, Samudera Hindia terutama di sekitar kawasan teritorial perairan Aceh, menjadi salah satu tempat perkawinan berbagai jenis ikan tuna, sehingga banyak nelayan asing berburu tuna ke wilayah itu. Kalangan peneliti dari Pusat Studi Adat Laut dan Kebijakan Perikanan Aceh, melaporkan baru-baru ini, Indonesia menjadi anggota dari sekitar 30 negara yang tergabung dalam Komisi Penangkap Tuna Lautan Hindia (Indian Ocean Tuna Commission -IOTC). Negara-negara tersebut mengerahkan kapal-kapal nelayan mereka melakukan penangkapan tuna di Samudera Hindia.

Kalangan praktisi ekonomi mengatakan, dengan hadirnya pelabuhan ekspor khusus tuna di sekitar provinsi Aceh, membantu para pemilik kapal-kapal berukuran besar lebih menghemat sekitar Rp 100 juta (Rupiah), karena tidak lagi harus membongkar muatan mereka di Kawasan Muara Baru di Jakarta.

Kalangan pelaku industri tuna dunia baru-baru ini dalam konferensi tahunannya di Jakarta mengatakan peluang investasi di industri tuna cukup terbuka lebar, khususnya di wilayah Sumatera, Papua, dan Sulawesi Utara yang kaya akan sumber daya ikan tuna. Dalam kuun dua tahun terakhir nilai ekspor tuna menempati urutan kedua setelah udang. Secara nasional, total produksi tuna Indonesia untuk ekspor sampai Oktober 2008 mencapai 130.056 ton dengan nilai sebesar 347,189 juta dollar AS.

Sebelumnya, kalangan praktisi pembangunan memuji komitmen Indonesia yang memasukkan Aceh sebagai bagian dari sejumlah provinsi kunci yang menjadi salah satu Koridor Ekonomi Sumatera. Tengah tahun lalu, pemerintah pusat menetapkan Aceh sebagai salah satu provinsi yang masuk Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI).

Salah satu upaya nasional yang cukup strategis, antara lain memberikan dukungan bagi upaya Aceh merampungkan sejumlah proyek pembangunan dan peningkatan bidang infrastruktur, terutama menitikberatkan pada infrastruktur energi, pertanian dan perikanan, transportasi serta infrastruktur telekomunikasi dan pariwisata.

Kalangan pakar optimis, pasca konflik selama lebih 30 tahun, di masa depan Aceh akan lebih bangkit secara ekonomi, terutama ditandai pula dengan besarnya dukungan rakyat dan pemerintah di provinsi itu, untuk tetap menjaga perdamaian demi keberlanjutan pembangunan.
Kalangan pakar mengatakan, negara-negara tujuan ekspor tuna utama, Amerika Serikat dan sebagian besar negara di kawasan Eropa menyoroti khusus terkait Isu lingkungan dan pelestarian tuna dari ancaman kepunahan.

Kalangan aktivis memuji komitmen sejumlah negara tujuan ekspor,yang menetapkan syarat terkait isu lingkungan dan ancaman kepunahan biota laut itu. Beberapa organisasi lingkungan dunia, seperti Earth Island Institute yang berkantor pusat di Inggris melaporkan, nelayan di negara-negara ASEAN menangkap lumba-lumba untuk dijadikan umpan menangkap tuna. Indonesia bersama sejumlah negara ASEAN sebagai pemasok tuna dunia kini menggalang kerjasama mengantisipasi pengetatan tersebut.

VOA mencatat bahwa, industri tuna Asia Tenggara menjadi salah satu pilar perdagangan tuna dunia dengan pasar utamanya Jepang, Uni Eropa dan Amerika Serikat. Lima negara terbesar penghasil tuna yang menguasai lebih 97 persen pangsa pasar tuna dunia antara lain, Indonesia, Thailand dan Ekuador.

Pakar mengatakan, kawasan laut di Asia Tenggara merupakan pusat produksi tuna yang cukup penting di dunia dengan keragaman spesies tuna yang terdapat dikawasan ini. Antara lain tuna sirip kuning, tuna sirip biru (Aceh;Eungkot Pa’ak), tuna mata besar, cakalang dan jenis lainnya. Kalangan praktisi ekonomi mengatakan, pemerintah Indonesia sendiri mendorong komoditas tuna menjadi komoditas ekspor unggulan selain udang.

Para pakar dunia mengatakan, sampai sekarang panganan dari hasil perikanan laut telah menjadi komoditi internasional terbesar dengan nilai perdagangan lebih dari 60 Miliar Dolar AS per tahun. Data Badan Pertanian dan Pangan PBB (FAO) mencatat konsumsi ikan dan produk perikanan mengalami peningkatan hampir 200 persen dari 38 juta ton tahun l960, menjadi lebih l37 juta ton pada tahun 2007. Sementara itu, FAO bersama IPFRI (International Policy Research Institute) baru-baru ini dalam laporannya memperkirakan, dalam 20 tahun mendatang kebutuhan akan makanan laut akan terus meningkat.

XS
SM
MD
LG