Tautan-tautan Akses

Konvensi Perlindungan Buruh Migran Harus Diadopsi Dalam Revisi UU


Pekerja migran Indonesia yang hendak pergi ke Timur Tengah memegang dokumen di kantor imigrasi Tangerang, Banten. (Foto: Dok)
Pekerja migran Indonesia yang hendak pergi ke Timur Tengah memegang dokumen di kantor imigrasi Tangerang, Banten. (Foto: Dok)

Pemerintah didesak mengadopsi konvensi tentang perlindungan buruh migran dan keluarganya dalam revisi UU perlindungan tenaga kerja Indonesia.

Lembaga perlindungan buruh migran Migrant Care mendesak pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat untuk mengadopsi konvensi tentang perlindungan buruh migran dan keluarganya, dalam revisi undang-undang tenaga kerja di luar negeri.

Pemerintah dan DPR saat ini sedang merevisi Undang-undang No. 39/2004 tentang penempatan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia di luar negeri.

Analisis kebijakan Migrant Care Wahyu Susilo mengatakan Selasa (20/5), bahwa ia menyayangkan tindakan pemerintah yang menghapus Konvensi Perlindungan Buruh Migran dan keluarganya sebagai konsideran dalam revisi UU tersebut.

Dalam melakukan revisi UU itu, kata Wahyu, pemerintah dan DPR harus mengadopsi pada Konvensi tentang perlindungan buruh migran dan keluarganya yang telah diratifikasi Indonesia 12 April 2012 lalu. Hal ini penting agar buruh migran Indonesia mendapatkan perlindungan yang maksimal, ujarnya.

Dalam revisi itu lanjut Wahyu, pemerintah dan DPR harus fokus pada perlindungan tenaga kerja Indonesia dan bukan pada penempatan tenaga kerja.

“Pentingnya Undang-undang ini mengedepankan penegakan dan penghormatan hak-hak buruh migran. Kemudian pentingnya undang-undang mengeliminasi kepentingan-kepentingan bisnis yang menang menguntungkan entitas bisnis tetapi merugikan teman-teman buruh migran,” ujar Wahyu.

Direktur Eksekutif lembaga hak asasi manusia ELSAM, Indriaswati Dyah Saptaningrum mengatakan, dengan meratifikasi konvensi perlindungan buruh migran dan keluarganya, sebenarnya Indonesia dapat mendorong negara penerima untuk menghormati standar perlindungan yang ada dalam konvensi tersebut.


Selama ini, kata Indriaswati, buruh migran belum mendapatkan hak-haknya secara baik bahkan pelecehan dan kekerasan pun kerap menimpa buruh migran Indonesia.

“Dan salah satu yang radikal dalam konvensi adalah adanya pengukuhan mengenai standar hak asasi yang tidak boleh dilanggar mereka yang termasuk dalam kategori buruh migran tidak berdokumen,” ujarnya.

Sementara itu, Staf Ahli Menteri Luar Negeri Bidang Hubungan Kelembagaan Suprapto Martosetomo menyatakan kebijakan moratorium pengiriman tenaga kerja Indonesia ke Malaysia yang dikeluarkan pemerintah Indonesia beberapa waktu lalu setidaknya berhasil menekan pemerintah Malaysia untuk memberikan hak-hak dasar dan memperbaiki perlindungan terhadap tenaga kerja Indonesia yang bekerja di negara itu.

Dia juga menambahkan diperlukan koordinasi yang komprehensif antar kementerian dalam mengatasi dan memberikan perlindungan kepada buruh migran Indonesia.

“Memberikan masukan-masukan ke dalam negeri supaya kebijakan-kebijakan itu ditujukan untuk penyiapan TKI untuk sebaik-baik mungkin. Dan ada penelusuran dimana TKI itu dikirim dan dimana mereka ditempatkan, dan ini tidak ada, sebagian besar tidak ada. Setelah ada masalah baru kami mendapatkan data untuk mengatasi masalah tersebut,” ujarnya.

Migrant Care pada Selasa di Jakarta juga meluncurkan buku hasil kajian kebijakan tentang penempatan buruh migran Indonesia sejak masa kolonial hingga sekarang ini. Buku tersebut berjudul Selusur Kebijakan (Minus) Perlindungan Buruh Migran Indonesia.

Wahyu mengungkapkan peluncuran buku ini bermaksud ingin memberikan gambaran bahwa sejak masa kolonial hingga kini, tidak ada perubahan aturan yang signifikan tentang penempatan tenaga kerja.

Menurutnya, sejak zaman kolonial hingga kini, kebijakan pengerahan atau penempatan buruh migran lebih mengedepankan peran badan perekrut dan berorientasi ekonomi. Sedangkan sedangkan posisi buruh migran sendiri dimarginalkan sebagai objek atau komoditi.

Data Migrant Care menyebut saat ini jumlah buruh migran Indonesia di luar negeri sekitar 6,5 juta orang yang tersebar di sejumlah negara seperti Malaysia, Singapura dan Hongkong. Kebanyakan dari mereka perempuan dan bekerja sebagai pembantu rumah tangga.

Recommended

XS
SM
MD
LG