Tautan-tautan Akses

Industri Perikanan Laut Dunia Dinodai Perbudakan di Indonesia


Para pekerja di Benjina, Indonesia, mengangkut ikan ke dalam kapal kargo yang akan bertolak ke Thailand, 22 November 2014. (AP/Dita Alangkara)
Para pekerja di Benjina, Indonesia, mengangkut ikan ke dalam kapal kargo yang akan bertolak ke Thailand, 22 November 2014. (AP/Dita Alangkara)

Jaring-jaring rumit dalam industri perikanan laut menutupi kebenaran yang brutal: Makanan laut yang Anda makan mungkin ditangkap oleh para budak.

Di desa pulau Benjina, Maluku, dan perairan sekitarnya, ratusan pria terjebak dalam situasi perbudakan dan mewakili salah satu mata rantai antara perusahaan-perusahaan dan negara-negara dalam industri makanan laut.

Jaring-jaring rumit ini memisahkan ikan yang kita makan dari pria-pria yang menangkapnya, dan menutupi kebenaran yang brutal: Makanan laut yang Anda makan mungkin ditangkap oleh para budak.

Pria-pria di Benjina itu sebagian besar berasal dari Myanmar, salah satu negara termiskin di dunia. Mereka dibawa ke Indonesia melalui Thailand dan dipaksa menangkap ikan. Hasil tangkapan kemudian dikirim ke Thailand, sebelum memasuki aliran perdagangan global.

Ikan-ikan yang ternoda itu dapat berakhir di rantai-rantai pasokan beberapa toko kelontong besar di Amerika, seperti Kroger, Albertsons dan Safeway; peritel terbesar negara itu, Wal-Mart; dan distributor terbesar, Sysco. Ikan-ikan itu dapat masuk ke dalam makanan kaleng untuk hewan, sebagai menu calamari di restoran mewah, dan meja makan kita.

Dalam investigasi selama setahun, kantor berita Associated Press mendokumentasikan perjalanan pengapalan makanan laut yang ditangkap para budak dari desa Benjina, melacaknya dengan satelit sampai pelabuhan Thailand, mengikuti truk-truk yang mengirimkannya ke pabrik-pabrik, tempat penyimpanan dan pasar ikan di Amerika.

Hewan-hewan laut itu juga dikirim ke Eropa dan Asia. Keseluruhan rantai pasokan tidak jelas, dan uang dihasilkan ke perusahaan-perusahaan yang mendapat keuntungan dari tenaga kerja budak.

Perusahaan-perusahaan besar menyatakan mereka mengutuk penyalahgunaan tenaga kerja. Semua mengatakan mereka mengambil langkah untuk mencegah tenaga kerja paksa, seperti bekerja dengan kelompok-kelompok hak asasi manusia agar sub-kontraktor bertanggung jawab.

Beberapa distributor makanan laut yang independen menggambarkan langkah-langkah yang lengkap dan mahal yang telah diambil untuk menjamin pasokan mereka bersih. Mereka mengatakan penemuan budak-budak itu menggarisbawahi betapa sulitnya mengawasi apa yang terjadi di belahan dunia lain.

Para budak mengatakan tidak tahu ke mana perginya ikan yang mereka tangkap. Mereka hanya tahu bahwa saking berharganya ikan-ikan itu, mereka dilarang memakannya.

Mereka mengatakan para kapten di kapal-kapal nelayan memaksa mereka minum air kotor dan bekerja selama 20-22 jam setiap giliran, tanpa hari libur. Hampir semuanya mengatakan mereka ditendang, dicambuk dengan ekor ikan pari atau dipukul jika mengeluh atau mencoba beristirahat. Bayaran mereka sangat kecil atau bahkan tidak dibayar, untuk pekerjaan menarik jala yang berat berisikan udang, cumi, kakap, kerapu dan ikan-ikan lainnya.

"Saya ingin pulang. Semua ingin pulang," ujar seorang pria dalam bahasa Myanmar. "Orangtua kami sudah lama tidak mendengar kabar dari kami. Saya yakin mereka pikir kami sudah mati."

Yang lain dengan ketakutan melihat ke arah tempat tinggal kapten, sebelum berseru: "Ini penyiksaan. Ketika kita dipukul, kita tidak dapat melawan.. Hidup kita ada di tangan Dewa Kematian."

Dalam kasus-kasus terburuk, banyak pria melaporkan para budak yang menjadi cacat atau bahkan mati di kapal mereka.

"Jika orang-orang Amerika dan Eropa makan ikan, mereka harus ingat kami," ujar Hlaing Min, 30, budak yang kabur dari Benjina.

"Pasti ada tumpukan tulang di bawah laut... Tulang manusia yang bisa jadi sebuah pulau saking banyaknya."

Thailand

Bagi para budak Myanmar, Benjina adalah akhir dunia. Pulau terpencil itu terletak di Laut Arafura, yang memiliki beberapa wilayah perikanan paling kaya dan beragam di dunia.

Meski ada di wilayah Indonesia, daerah ini menarik banyak armada perikanan ilegal, termasuk dari Thailand. Perdagangan ini berdampak pada Amerika Serikat dan negara-negara lainnya.

Penjaga keamanan berbicara pada tahanan di dalam sel. Para tahanan ini adalah budak-budak yang berisiko kabur dan hanya diberi sedikit makanan. (AP/Dita Alangkara)
Penjaga keamanan berbicara pada tahanan di dalam sel. Para tahanan ini adalah budak-budak yang berisiko kabur dan hanya diberi sedikit makanan. (AP/Dita Alangkara)

Amerika Serikat menganggap Thailand sebagai salah satu pemasok makanan laut teratasnya, dan membeli 20 persen dari ekspor tahunan negara senilai US$7 miliar dalam industri tersebut. Tahun lalu, Departemen Luar Negeri memasukkan Thailand ke daftar hitam karena gagal memenuhi standar-standar minimal dalam melawan perdagangan manusia, membuat negara itu setara dengan Korea Utara, Suriah dan Iran. Namun tidak ada sanksi tambahan.

Industri makanan laut Thailand sebagian besar bergantung pada tenaga kerja migran, dan perlakuan atas sejumlah pekerja ada dalam definisi perbudakan, termasuk memperdagangkan manusia dan mengeksploitasi mereka, dan pada kasus ekstrem diculik dan diperdayakan untuk bekerja di kapal, lalu dipukuli dan dirantai.

Pemerintah Thailand mengatakan mereka sedang mengatasi masalah tersebut, dan juga berjanji akan melakukan pencatatan baru nasional atas pekerja migran ilegal, termasuk lebih dari 100.000 yang membanjiri industri makanan laut.

Namun hal itu semakin sulit karena perikanan ilegal yang telah terjadi puluhan tahun telah mengurangi stok dekat Thailand, membuat kapal-kapal semakin jauh dan dalam ke perairan asing.

Indonesia

Pemerintah Indonesia telah memberlakukan larangan sementara untuk sebagian besar penangkapan ikan, berupaya membersihkan pemburu asing yang mengambil miliaran dolar makanan laut dari perairan negara. Sebagai hasilnya, lebih dari 50 kapal sekarang berlabuh di Benjina, membuat sampai 1.000 budak lagi terdampar di pantai dan menunggu apa yang akan terjadi berikutnya.​

Pemerintah mencoba menegakkan aturan yang melarang kapal kargo mengambil ikan dari kapal di laut. Praktik ini memaksa para penangkap ikan tinggal di perairan selama berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun, pada dasarnya menciptakan penjara mengapung.

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, mengatakan ia telah mendengar perusahaan-perusahaan perikanan yang berbeda-beda menaruh budak-budak di sel. Ia menambahkan bahwa ia yakin para pemukat di Benjina dimiliki orang-orang Thailand, meski dokumennya berasal dari Indonesia, mencerminkan praktik umum memalsukan atau menggandakan izin.

Ia mengatakan sangat terganggu dengan penyalahgunaan di Benjina dan pulau-pulau lain.

"Saya sangat sedih. Saya kehilangan selera makan, tidak bisa tidur," ujarnya. "Mereka membangun kerajaan lewat perbudakan, pencurian, pengambilan ikan, kehancuran lingkungan yang masif untuk sepiring makanan laut."

Makanan laut yang ditangkap para budak di Benjina mungkin dikirim ke seluruh dunia, namun hidup mereka seringkali berakhir di sini.​

Recommended

XS
SM
MD
LG