Tautan-tautan Akses

Di Balik Gemerlap Kota-Kota Asia Kesenjangan Makin Tinggi


Yeung Ying Biu, 77, duduk dalam tempat tinggalnya, 'kandang' berukuran 1,5 meter persegi di sebuah bangunan kumuh di Hong Kong. (AP/Vincent Yu)
Yeung Ying Biu, 77, duduk dalam tempat tinggalnya, 'kandang' berukuran 1,5 meter persegi di sebuah bangunan kumuh di Hong Kong. (AP/Vincent Yu)

Ketidaksetaraan di Indonesia meningkat dari 30,8 pada 1999 menjadi 41,3 pada 2013, yang menunjukkan bahwa kemakmuran terkonsentrasi di beberapa tangan saja.

Di negara-negara berkembang, urbanisasi telah lama menjadi pilihan jalan keluar untuk keluar dari kemanusiaan. Namun hal itu semakin jauh dari kenyataan untuk jutaan orang di Asia, tempat kesenjangan antara si kaya dan si miskin semakin lebar di banyak dari kota-kota paling padat dalam sejarah manusia.

Dari India sampai Indonesia, Myanmar dan Filipina, kota-kota yang terlalu padat telah menjadi studi untuk melihat dua titik ekstrem kemiskinan dan kekayaan.

Tren ini dapat memburuk karena melebarnya kesenjangan global antara yang paling kaya dan orang-orang lainnya dapat melemahkan upaya untuk mengurangi kemiskinan. Ketika si kaya menangkap bagian kemakmuran yang terus tumbuh, warga miskin dan kelas menengah biasanya menderita. Para ahli mengatakan masalah-masalah lain cenderung mengikuti: kesehatan memburuk, kurangnya pendidikan, perpecahan keluarga, kriminalitas dan masyarakat yang tidak stabil.

"Dengan adanya ketidaksetaraan, efek pertumbuhan pemberantasan kemiskinan diredam," ujar Indu Bhushan, pejabat Bank Pembangunan Asia (ADB).

Ketidaksetaraan di Indonesia meningkat dari 30,8 pada 1999 menjadi 41,3 pada 2013, pada skala nol sampai 100 dimana nol menunjukkan setiap orang memiliki kekayaan yang setara dan 100 menunjukkan hanya satu orang yang mengontrol semua kekayaan.

Peningkatan yang tajam tersebut, yang menunjukkan bahwa kemakmuran terkonsentrasi di beberapa tangan saja, telah terjadi di India, China dan tempat-tempat lainnya.

Dalam beberapa dekade terakhir, kekuatan industrialisasi memungkinkan ratusan juta orang untuk bangkit dari kemiskinan ekstrem. Pada 1981, hampir 1,7 miliar warga Asia hidup dengan kurang dari US$1,25 per hari. Saat ini, jumlah itu sekitar 700 juta.

Namun sejumlah besar warga tidak dapat lagi memiliki aspirasi untuk bangkit lebih jauh. Sekitar 80 persen dari 3,6 miliar orang di negara-negara berkembang di Asia masih hidup dengan $5 per hari, banyak diantaranya bergantung dari menjadi buruh harian, pemulung atau pekerjaan-pekerjaan berupah minim lainnya.

Bahkan migran-migran yang pindah ke kota bertahun-tahun lalu merasa terjebak dalam kelas bawah yang tampaknya permanen.

Pada saat yang sama, jumlah miliuner dan miliarder terus tumbuh, menciptakan elit-elit yang lebih memiliki kesamaan dengan orang-orang super kaya di kota-kota seperti Paris dan New York dibandingkan sesama warga negara mereka. Di luar China timur dan di negara-negara maju seperti Korea Selatan dan Jepang, kelas menengah Asia tidak tumbuh meluas.

Salah satu faktor di belakang disparitas kekayaan yang meluas di Asia, ujar Bhushan dari ADB, adalah melonjaknya harga-harga real estate. Perumahan yang terjangkau terjepit diantara apartemen-apartemen mewah, hotel dan mal.

Peningkatkan Ketaksetaraan, Tumbuhnya Kekayaan Warisan

Beberapa menjadi kaya karena kebangkitan industri dan properti, namun sebagian besar orang terkaya di Asia adalah generasi kedua dan ketiga yang mewarisi kekayaan kelaurga.

Bank Dunia dan organisasi-organisasi global lainnya telah menemukan bahwa kemiskinan ekstrem telah menurun dalam 30 tahun terakhir, sebagian karena produsen manufaktur AS, Eropa dan Jepang telah membuka lapangan pekerjaan ke negara-negara Asia yang miskin -- pabrik tekstil di Bangladesh, misalnya, dan produsen elektronik di China.

Namun para ahli mengatakan penurunan kemiskinan telah melambat karena kesenjangan kekayaan. ADB memperkirakan 240 juta orang di Asia dapat dikeluarkan dari kemiskinan yang parah jika saja ketidaksetaraan tidak meningkat.

Untuk negara-negara seperti Myanmar yang baru belakangan terjun dalam industrialisasi, tantangannya benar-benar akut akibat ekonomi yang sekian lama stagnan dalam kekuasaan militer.

Di Indonesia, orang-orang seperti Samia Batubara, yang tinggal di antara rel kereta api dan sungai yang kotor penuh limbah, masih bermimpi untuk masa depan yang lebih baik.

Sambil menjual kopi dengan sepeda, ia membayangkan dirinya dapat tinggal di Hotel Shangri-La dekat tempat tinggalnya.

"Setiap hari saya membayangkan dapat datang ke hotel dan melihat kamarnya. Hampir setiap hari, saya membayangkan bagaimana dapat tidur di sana," ujarnya. (AP)

XS
SM
MD
LG