Tautan-tautan Akses

Delegasi Suku Asli Dunia Bahas Hak Mereka di Konferensi PBB


Agnes Leina, pendiri Il’laramatak Community Concerns, kelompok akar rumput di Kenya untuk mendorong persamaan hak perempuan. (VOA/Adam Phillips)
Agnes Leina, pendiri Il’laramatak Community Concerns, kelompok akar rumput di Kenya untuk mendorong persamaan hak perempuan. (VOA/Adam Phillips)

Lebih dari 1.000 delegasi diundang ke konferensi PBB untuk berbagi perspektif mengenai praktik-praktik terbaik untuk menjamin hak-hak suku asli di dunia.

Hutan-hutan yang menjadi rumah banyak suku asli di dunia adalah lebih dari tempat untuk mencari makanan, bahan baku dan keperluan lainnya untuk bertahan hidup. Hutan juga merupakan sumber hubungan spiritual dengan Bumi, nenek moyang dan hidup yang bermakna.

Para pemimpin dari banyak suku asli yang mendiami hutan ada di New York minggu ini dalam rangka Konferensi Tingkat Tinggi PBB untuk Iklim dan Konferensi Dunia Masyarakat Suku Asli yang pertama.

Konferensi Dunia untuk Masyarakat Suku Asli, sesi paripurna tingkat tinggi dari Sidang Umum PBB, adalah tempat dimana lebih dari 1.000 delegasi diundang untuk berbagi perspektif mengenai "praktik-praktik terbaik" untuk menjamin hak-hak suku asli di seluruh dunia.

Agnes Leina adalah pendiri Il’laramatak Community Concerns, sebuah kelompok akar rumput di sebuah daerah terpencil di Kenya, yang didedikasikan untuk kesetaraan bagi anak-anak perempuan dan perempuan dewasa di masyarakat hutan tempat ia berada.

Ia mengatakan ada hubungan spiritual antara binatang (baik hewan liar maupun peliharaan), sesama peternak dan hutan.

"Lewat hutanlah remaja pria mulai tumbuh menjadi dewasa. Dan semua pohon, daun, getah yang sakral ditemukan di hutan. Kami bergantung pada hutan untuk semua hal," ujarnya.

Sementara itu, mahkota, perut tambun tanpa penutup dan kostum berwarna-warni menunjukkan peran Candido Mezua sebagai presiden Kongres Umum Embera-Wounaan yang mencakup sekitar 10.000 orang yang hidup di hutan hujan tropis di Panama.

Candido Mezua, presiden Kongres Umum Embera-Wounaan dari Panama.
Candido Mezua, presiden Kongres Umum Embera-Wounaan dari Panama.

Mezua telah berjuang melawan penebangan hutan yang dilakukan perusahaan hampir sepanjang hidupnya. Lewat penerjemah, ia mengatakan sebagai remaja, ia terinspirasi oleh seorang perempuan tua yang mendekati api unggunnya suatu malam.

“Nenek itu berbicara pada kami dengan suara yang sangat tenang, namun suara yang menangis. Meski saat itu gelap dan kami tidak bisa melihat matanya, tapi hanya dengan mendengarkan suaranya, kami juga mulai menangis. Nenek itu berkata, 'Lihat pohon-pohon yang ditebang dan diambil.' Dan ia mengatakan, 'Setiap pohon yang ditebang dan diambil itu adalah saudara kita. Lihat betapa banyak saudara kita yang dibunuh dan diambil. Jadi kita harus mulai berpikir. Apa yang akan kita lakukan? Apakah kita akan menghilang, saudara kita, pohon dan seluruh kehidupan yang mereka bawa? Apakah kita akan menghilang?'" kenangnya.

Abdon Nababan, sekretaris jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) di Indonesia, mengatakan hampir setengah hutan komunitasnya telah menghilang dalam beberapa dekade terakhir, membawa serta bagian dari dirinya.

Abdon Nababan, sekretaris jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) di Indonesia.
Abdon Nababan, sekretaris jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) di Indonesia.

“Rumah adalah komunitas, dimana Anda merasa dapat menceritakan kisah Anda. Anda bisa menari, makan daging yang didapat dari hutan. Itulah rumah," ujarnya.

"Anda merasa memiliki tanah itu. Karena Anda bergantung pada tanah itu. Identitas Anda adalah lahan, hutan. Itu krisisnya. Anda akan kehilangan diri karena identitas Anda, tempat Anda berdiri tidak lagi ada. Itu situasinya."

Jika sikap-sikap di PBB diterjemahkan ke dalam kebijakan-kebijakan nasional, situasinya dapat berubah.

XS
SM
MD
LG