Tautan-tautan Akses

Tiongkok Kesulitan Kembalikan Panda ke Habitat Asli


Ketujuh anak panda ini lahir tahun 2012 di Yayasan Penelitian Panda di Chengdu, Provinsi Sichuan (foto: dok). Tiongkok mengalami kesulitan mengembalikan panda-panda ini ke habitat aslinya.
Ketujuh anak panda ini lahir tahun 2012 di Yayasan Penelitian Panda di Chengdu, Provinsi Sichuan (foto: dok). Tiongkok mengalami kesulitan mengembalikan panda-panda ini ke habitat aslinya.

Program Tiongkok untuk membiakkan panda yang terancam punah telah berhasil, namun gagal dalam mengembalikan panda-panda itu ke habitat aslinya.

Upaya untuk menyelamatkan panda menguat dalam dekade 1980-an dengan didirikannya tempat penelitian bagi pembiakkan panda di Chengdu, Provinsi Sichuan. Program itu dimulai dengan enam panda tahun 1987. Namun, setelah program pembiakan berhasil, populasi panda yang mencapai 300 ekor itu hidup di penangkaran, sementara 1.600 sampai 2.000 lainnya hidup di hutan belantara.

Panda-panda itu, dulunya pemakan daging, sangat tergantung pada bambu dan merupakan satwa asli dari Provinsi Sichuan, Shaanxi, dan Gansu di Tiongkok.

Dr. Hou Rong, peneliti utama pada Yayasan Penelitian Chengdu, mengatakan, program itu berhasil melampaui sasaran awal untuk membiakkan 300 panda di penangkaran. Ia memaparkan, “Kami berhasil mengembangkan jumlah yang berkesinambungan di penangkaran. Awalnya sangat sulit. Sekarang, kami telah mengatasi banyak masalah dalam program pembiakkan, jadi sangat mendukung pertumbuhan populasi panda di penangkaran.”

Dr. Hou mengatakan, langkah berikutnya adalah mengenalkan lagi panda-panda ini kepada habitat aslinya. Tetapi, ia mengakui, rencana itu menghadapi banyak kesulitan. “Panda-panda itu sudah hidup di penangkaran selama lima generasi. Jadi, induk panda tidak tahu bagaimana hidup di habitat aslinya. Ini kesulitannya,” ujarnya.

Program untuk mengenalkan lagi panda di penangkaran ke habitat aslinya terhenti setelah matinya panda jantan, Xiang Xiang atau Lucky, yang dibebaskan ke hutan belantara tahun 2008. Xiang Xiang mati setelah diserang panda-panda liar.

Dr. George Schaller, pakar ekologi kenamaan dan anggota Masyarakat Perlindungan Satwa Liar yang berkantor pusat di New York, berkunjung ke kawasan Chang Tang tahun 1988 untuk meneliti panda. Ia juga menerbitkan hasil penelitian mengenai panda dan berperan penting dalam mendorong Tiongkok mengembangkan program perlindungan panda.

Dr. Schaller mengatakan program rehabilitasi panda itu perlu diteruskan setelah terhenti dengan kematian Xiang Xiang. Tidak ada alasan, ujarnya, untuk terus menempatkan sebanyak mungkin panda di penngkaran. “Secara umum Tiongkok telah berupaya keras. Sekitar 350 panda hidup di penangkaran – tidak ada alasan untuk menempatkan panda sebanyak itu di sana. Tiongkok harus berusaha keras untuk mengembalikan mereka ke wilayah-wilayah di mana ada hutan, daerah-daerah suaka dan di mana panda sudah punah atau hampir punah, dan itu bukan masalah besar. Hanya membutuhkan itikad kuat, waktu, dan usaha,” paparnya.

Scaheller mengatakan, ada banyak bantuan internasional yang tersedia bagi Tiongkok untuk membantu mengembalikan panda ke habitat aslinya. “Panda jelas binatang langka, hanya tinggal 2.000 ekor. Di sisi lain, panda merupakan spesies yang membutuhkan banyak perhatian dan dana daripada satwa lain di dunia yang terancam punah. Jadi, hutan harus dilindungi dan perburuan liar panda harus dipantau, ada banyak dana untuk ini semua,” tegasnya.

Program perlindungan panda untuk memulihkan populasinya berhasil dilakukan dengan campur tangan manusia dan ilmu pengetahuan. Tetapi, menurut Dr. George Schaller , sudah saatnya mengembangkan populasi panda di hutan rimba dan jangan terus membuat mereka hidup di penangkaran.
XS
SM
MD
LG