Tautan-tautan Akses

Yogyakarta Gelar Jogja Asian Film Festival (JAFF) ke-6 Pekan Ini


Diskusi tentang Cinephilia dan Perkembangan Sinema Indonesia dalam acara Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) 2011 di Yogyakarta.
Diskusi tentang Cinephilia dan Perkembangan Sinema Indonesia dalam acara Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) 2011 di Yogyakarta.

Di tengah merosotnya jumlah penonton film di bioskop di Indonesia, Festival Film Asia atau Jogja Asian Film Festival (JAFF) pekan ini kembali diselenggarakan untuk ke-enam kalinya (13-17 Desember 2011 ), bekerjasama dengan Jaringan Promosi Sinema Asia atau NETPAC (Network for the Promotion of Asian Cinema).

Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) merupakan satu-satunya festival film di Indonesia yang berkonsentrasi pada perkembangan sinema Asia, memilih film Asia terbaik pertama dan kedua, memberikan penghargaan NETPAC, film terbaik Asia versi komunitas film independen dan film pendek terbaik Asia.

JAFF ke-6 tahun 2011 hadir dengan tema multitude, yang menggambarkan keberagaman dari berbagai aspek industri film di Asia.

Direktur Festival Budi Irawanto mengatakan, JAFF ke-6 berusaha memberi ruang bagi beragam gerakan, baik sosial, politik maupun seni yang sedang terjadi di Asia melalui film yang berkualitas.

“Festival kita ingin mempromosikan film Asia dan lebih dekat dengan penonton Asia. Kita tidak menunggu sekedar pendaftaran tetapi secara aktif mengidentifikasi film-film yang bagus dan mengontak para pembuat film-nya. Kita selalu melihat sutradara-sutradara muda yang bahkan mungkin ini film pertama mereka, itu kita beri ruang di festival ini,” papar Budi Irawanto.

JAFF ke-6 dibuka Selasa malam dengan pemutaran film Iran berjudul Green Wave mengenai kekejaman rejim Presiden Ahmadinejad pada masa pemilu tahun 2009. Film dokumenter ini dibuat dengan mendayagunakan berbagai sarana seperti telepon genggam, twitter dan teknik animasi.

Sebelum penutupan hari Sabtu, diputar film “The Raid”, film laga Indonesia generasi baru yang mempromosikan pencak silat. Film tentang kehidupan “bawah tanah” Jakarta tersebut baru akan dirilis April 2012. Karena itu, menurut Budi Irawanto, JAFF juga diharapkan menginspirasi para pembuat film di Indonesia.

Budi Irawanto menambahkan, “Saya ingin festival ini bisa meng-inspirasi juga, karena itu kita mengundang para pembuat film independen agar nantinya mereka bias membuat film yang lebih “kaya” bahkan dengan medium yang terbatas sekalipun bahkan bisa membuat film.”

Dalam diskusi tentang Chinephilia (Gerakan Mencintai Film Bioskop) dan Perkembangan Sinema Indonesia, pengamat film nasional Adrian Jonathan Pasaribu mengatakan, jumlah penonton film di bioskop Indonesia sangat nimimal. Untuk tahun ini (sampai dengan Desember) jumlahnya hanya 12 juta, turun dari 16 juta tahun lalu.

Jumlah bioskop di seluruh Indonesia saat ini hanya 168 dengan jumlah layar 676. Menurut Adrian, persoalan film di Indonesia sangat komplek antara lain akibat dari regulasi yang tidak jelas dan persaingan yang tidak sehat.

“Masing-masing elemen memiliki masalah internalnya sendiri. Itu yang membikin tautan masing-masing elemen jadi tidak jalan. Harapanku, aku ingin distribusi (film) beres dulu, kalau distribusi beres dengan demokratisasi di film (termasuk) soal konten sehingga kita bisa nonton film (dari) Nepal di Twenty-One,” jelas Adrian Pasaribu.

Festival film Asia ke-6 di Jogja kali ini juga menayangkan satu program khusus, yaitu mengenai peringatan 70 tahun perjalanan sinema di Kyrgyzstan.

XS
SM
MD
LG