Tautan-tautan Akses

Pengamat: Pemerintah Tak Konsisten dengan UU Otsus Papua


Sebuah pasar tradisional di Jayapura, provinsi Papua (foto: dok). Meski telah ditetapkan Otsus bagi Papua dan Papua barat, namun sekitar 70 persen masyarakat Papua masih hidup di bawah garis kemiskinan.
Sebuah pasar tradisional di Jayapura, provinsi Papua (foto: dok). Meski telah ditetapkan Otsus bagi Papua dan Papua barat, namun sekitar 70 persen masyarakat Papua masih hidup di bawah garis kemiskinan.

Rektor Universitas Cenderawasih, Prof. Dr. Berth Kambuaya, berpandangan bahwa pemerintah pusat belum sepenuhnya memahami UU Otsus Papua.

Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Papua di Jakarta dan Universitas Cenderawasih Papua telah melakukan kajian atas isi dan pelaksanaan UU Otonomi Khusus. Hasilnya, terdapat sekitar 20 perangkat aturan yang belum dilaksanakan oleh pemerintah pusat. Demikian yang disampaikan Rektor Universitas Cenderawasih, Profesor Dr. Balthasar Kambuaya, kepada pers, usai diskusi panel pemerintah di Kementerian Pertahanan, Kamis sore.

Profesor Kambuaya meminta semua pihak konsisten menjalankan amanah UU Otonomi Khusus Papua. “Ada hampir 20 lah perangkat-perangkat hukum yang perlu dibuat lagi untuk memperkuat UU itu untuk diimplementasikan," tuturnya. "Dan itu juga bergantung pada pemerintah pusat dan daerah. UU ini mungkin belum banyak dipahami oleh para pejabat dan pemimpin di republik ini, juga dalam menerjemahkan UU itu dalam berbagai peraturan pemerintah yang berkaitan dengan pembangunan di Papua juga belum berjalan dengan baik.”

Berth Kambuaya mengatakan penambahan kapasitas kepemimpinan di Papua juga perlu diatur agar mampu menangani pembangunan di provinsi tersebut. Ia berharap Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat (UP4B), yang dibentuk Presiden Yudhoyono, mampu melakukan tugasnya dengan baik.

“Salah satu yang dibuat terakhir oleh pemerintah pusat untuk penanganan Papua adalah (pembentukan) UP4B. Selain melihat berbagai program (pembangunan) di Papua dan melakukan pengawasan, tetapi (yang terpenting) bagaimana UU Otsus ini bisa berjalan dengan baik. Kalau bisa ini menjadi bagian dari tugas UP4B itu," ujarnya.

Kemelut di Papua dan Papua Barat berkembang sejak lama tidak hanya di bidang politik tetapi juga ekonomi. Pekan lalu, aparat kepolisian Abepura membubarkan Kongres Rakyat Papua yang dituding melakukan tindakan makar. Di saat yang hampir bersamaan, ribuan pekerja lokal di tambang Freeport melakukan mogok massal menuntut kenaikan upah.

Tahun lalu, masyarakat Papua melakukan demonstrasi dan meminta referendum, karena tidak puas dengan pelaksanaan otonomi khusus.

Salah seorang peneliti khusus Papua dari LIPI, Dr. Muridan Widjojo, kepada VOA menilai pemerintah pusat tidak perlu takut akan isu Papua Merdeka. Pemerintahan SBY hanya perlu segera memperbaiki pola-pola pendekatan serta aturan hukum yang dirumuskan selama ini. Kalau tidak, maka Papua dan Papua Barat selamanya akan terus bergejolak.

Ia mengatakan, “Ada masalah-masalah mendasar yang selama ini yang tidak pernah diselesaikan. Maka akhirnya orang bicara soal kekerasan dan pelanggaran HAM, masalah pembangunan, ini selalu diputar-putar tidak pernah diselesaikan.”

Muridan menambahkan, persoalan penting lain muncul pada masalah pemilihan bupati atau gubernur, yang konon calon-calonnya dipantau khusus oleh pemerintah pusat. Padahal, UU Nomor 21 Tahun 2001, tentang Otonomi Khusus Papua, menyebutkan jabatan gubernur dan bupati harus dijabat oleh putra daerah.

XS
SM
MD
LG