Tautan-tautan Akses

TNI Kesulitan Hadirkan Saksi-Saksi untuk Kasus Video Kekerasan di Papua


Pelajar Papua Barat meneriakkan slogan-slogan protes terhadap pemerintah RI dalam sebuah demonstrasi mengenai HAM di Papua (foto: dok).
Pelajar Papua Barat meneriakkan slogan-slogan protes terhadap pemerintah RI dalam sebuah demonstrasi mengenai HAM di Papua (foto: dok).

Pengadilan Militer Papua menggelar sidang tiga tersangka lainnya dalam kasus video kekerasan terhadap warga sipil di Papua, Kamis pagi.

Tiga anggota TNI telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus video penganiayaan terhadap warga sipil di Gurage, Distrik Tinggi Nambut, Kabupaten Puncak Jaya, Papua. Gambar-gambar dalam video yang beredar luas melalui situs YouTube, memperlihatkan tiga anggota TNI itu sedang membakar alat kelamin seorang warga.

Pada sidang di Pengadilan Militer Jayapura, Kamis pagi, ketiga aparat TNI ini dinyatakan telah bertindak di luar prosedur dan tidak mengindahkan perintah atasan. Hal ini telah melanggar Pasal 103 UU Peradilan Militer.

Di Jakarta. Kapuspen Mabes TNI Laksamana Pertama Iskandar Sitompul menjelaskan kepada VOA, Kamis, pihak TNI kesulitan mendapatkan saksi-saksi untuk kasus rekaman video penganiayaan tersebut.

“Sementara ini masih tiga orang itu sebagai tersangka. Samapi sekarang dicari, dipanggil, tidak ada, maka itu yang masih menjadi 'kerepotan' pihak pengadilan militer Jayapura,” ujar Laksamana Pertama Iskandar Sitompul.

Namun demikian, Iskandar Sitompul menolak berkomentar lebih jauh atas dugaan penghilangan paksa terhadap para saksi mata di lokasi perkara. Ia menilai, pernyataan itu sangat tidak tepat ditujukan kepada TNI.

“Ini sidang terbuka untuk umum, jadi Komnas HAM Papua dan tokoh-tokoh masyarakat di sana semua hadir. Tidak ada yang ditutupi, dan TNI berusaha mencari efek jera dan adil untuk semuanya. Ini kebijakan dari Panglima TNI, Laksamana Agus Suhartono,” tambahnya.

Sebelumnya, empat anggota TNI telah divonis lima hingga tujuh bulan penjara pada persidangan tanggal 9 November 2010, atas kasus penganiayaan yang sama. Menurut rencana, sidang akan digelar kembali pada 17 Januari mendatang, dengan agenda mendengarkan pembelaan.

Menanggapi persidangan Kamis, Ketua Dewan Adat Papua, Forkorus Yaboisembut kepada VOA, mengatakan masyarakat Papua berada dalam situasi yang dilematis dan trauma untuk menjadi saksi. Ini menjadi persoalan pokok di Papua.

“Untuk menghilangkan jejak, ini yang meninggalkan trauma. Mereka takut keamanannya tidak terjamin di masa depan. Dulu supir Pak Theys Eluay, Aristoteles, dia dihilangkan jejaknya oleh siapa itu kita tidak pernah tahu, dan ini terjadi di depan mata dan hidung kita,” ujar Forkorus.

Forkorus Yaboisembut juga mengharapkan putusan yang seadil-adilnya bagi aparat yang telah terbukti melakukan penyiksaan terhadap warga sipil.

Bersama sembilan pemuka adat Papua, tahun lalu Forkorus sempat bertemu dengan anggota Senat Amerika Serikat, untuk mengadukan kasus-kasus pelanggaran hak ekonomi dan hak asasi manusia di Papua.

“Mereka (anggota Senat AS) pernah mengatakan pada saya, bahwa pasti akan ada perubahan pada tubuh militer. Tetapi saya katakan itu tidak ada. Mereka harus catat, tidak ada perubahan yang signifikan, dan itu nyata.”

Sementara itu, Wakil Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, Ted Ossius, mengatakan pengadilan militer bagi pelaku kekerasan di Papua menunjukkan adanya kemungkinan untuk memajukan demokrasi dan penegakan HAM di Indonesia.

XS
SM
MD
LG