Tautan-tautan Akses

Tahirih Justice Center: Lembaga Bantuan Hukum bagi Perempuan Imigran


Layli Miller-Muro (duduk) bersama Fauziya Kassindja, imigran yang melarikan diri ke AS untuk menghindari tindak kekerasan di negara asalnya, Togo.
Layli Miller-Muro (duduk) bersama Fauziya Kassindja, imigran yang melarikan diri ke AS untuk menghindari tindak kekerasan di negara asalnya, Togo.

Lembaga bantuan hukum di AS ini telah membantu 10.000 perempuan imigran yang menyelamatkan diri dari berbagai tindak kekerasan.

Layli Miller-Muro belum lulus dari fakultas hukum ketika ia membantu penuntutan sebuah perkara yang kelak menjadi preseden hukum dan secara drastis mengubah hukum suaka di Amerika.

Perkara itu melibatkan Fauziya Kassindja, gadis 17 tahun dari Togo, Afrika Barat yang lari dari negaranya karena takut menghadapi mutilasi alat kelamin (sunat bagi perempuan), yang umum dipraktekkan di sana. Miller-Mulo mengupayakan suaka bagi Kassindja dengan alasan, jika ia kembali ke Afrika, ia harus menjalani penyunatan yang secara medis berbahaya itu.

Setelah mengalami banyak rintangan, Miller-Muro akhirnya memenangkan perkara itu, dan tahun 1996, Kassindja memperoleh suaka dari Pengadilan Banding Imigrasi Amerika.

“Saat itu suaka tidak diberikan kepada orang yang berstatus pengungsi. Tetapi, setelah perkara ini diajukan sampai ke pengadilan imigrasi tertinggi di Amerika, pintu mulai terbuka bagi apa yang sekarang disebut hukum suaka berdasar gender di Amerika,” ungkap Miller-Muro.

Setelah memenangkan kasus mereka, Miller-Muro dan Kassindja menulis buku tentang pengalaman mereka berjudul "Do They Hear You When You Cry?" (1998). Miller-Muro kemudian membentuk Tahirih Justice Center atau Lembaga Bantuan Hukum Tahirih, LSM yang memberikan bantuan hukum cuma-cuma bagi perempuan dan gadis dari seluruh dunia yang lari dari pelecehan HAM.

Sejak didirikan tahun 1997, lembaga itu telah membantu lebih dari 10.000 perempuan dan gadis dari kekerasan.

Layli Miller-Muro (kanan) ketika menerima 2010 BRAVA! Women Business Achievement Award.
Layli Miller-Muro (kanan) ketika menerima 2010 BRAVA! Women Business Achievement Award.

Pembentukan Tahirih Justice Center nampaknya merupakan langkah maju bagi Miller-Muro, yang dibesarkan di negara bagian Georgia pada saat gerakan hak-hak sipil mencapai puncaknya pada dasawarsa 1960-an. Orang tuanya banyak terlibat dalam isu-isu yang menyangkut keadilan sosial. Ibunya bekerja pada Yayasan Martin Luther King Jr. untuk Perubahan Sosial Tanpa Kekerasan.

“Saya sadar akan isu ketidaksetaraan dalam masyarakat Amerika. Saya sangat menyadari masalah rasisme khususnya, dan sejak awal saya sudah berhasrat mengatasi isu-isu ketidaksetaraan dan ketidakadilan,” jelas Miller-Muro.

Awalnya Miller-Muro tidak pernah berniat hanya mengurus isu-isu perempuan, tetapi kasus Kassindja membuatnya tetap memfokuskan diri pada isu-isu itu.

Layli Miller-Muro mengatakan walaupun pekerjaannya kadang-kadang membuatnya stres, tetapi semangatnya, yang didorong oleh nilai-nilai spiritualnya, selalu tinggi.

Baru-baru ini ia menerima penghargaan Brava! Women Achievement Award dari majalah SmartCEO atas kepemimpinannya pada Tahirih Justice Center.

XS
SM
MD
LG