Tautan-tautan Akses

Syawalan Kraton Yogyakarta Tahun Ini Bernuansa Politis


Sultan Hamengkubowono X menerima jabat tangan dari para anggota masyarakat yang menghadiri acara Syawalan di Kraton Yogyakarta, Senin (5/9).
Sultan Hamengkubowono X menerima jabat tangan dari para anggota masyarakat yang menghadiri acara Syawalan di Kraton Yogyakarta, Senin (5/9).

Kraton Yogyakarta menggelar Syawalan sembari memperingati Amanat 5 September mengenai status istimewa DIY.

Sekitar 30.000 warga Yogyakarta, mulai dari masyarakat kebanyakan, PNS, para pamong desa hingga bupati, wakil bupati dan walikota serta para pimpinan DPRD memadati Pagelaran Kraton Yogyakarta untuk bersilaturahmi dan merayakan Lebaran dengan Gubernur Yogyakarta Sultan Hamengkubuwono X pada hari Senin (5/9).

Lebaran kali ini lebih bernuansa politis karena dirayakan bersamaan dengan peringatan 66 tahun Amanat 5 September. Amanat 5 September ini berisikan pernyataan almarhum Sultan Hamengkubuwono IX dan Paku Alam VIII tentang bergabungnya Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman menjadi bagian dari NKRI.

Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Prabukusumo, adik kandung Sultan Hamengkubuwono X mengemukakan alasan diselenggarakannya kedua kegiatan secara bersamaan. "Syawalan dengan masyarakat diadakan di Pagelaran karena diperkirakan yang akan ikut syawalan banyak. Kebetulan harinya bertepatan dengan peringatan Amanat 5 September," ujar Prabukusomo.

Prabukusumo tidak menampik bahwa kegiatan Syawalan ini bernuansa politis. Peringatan Amanat 5 September pada acara Syawalan ini juga dimaksudkan untuk mendesak pemerintah agar segera menyelesaikan Rancangan Undang Undang tentang Keistimewaan Yogyakarta yang sudah beberapa tahun menjadi polemik berkepanjangan. "Harapan kami (RUUK Yogyakarta) cepat diselesaikan sesuai dengan keinginan rakyat. Karena, saya selaku warga masyarakat Yogya merasa kecewa kalau pemerintah tidak cepat-cepat menyelesaikannya," tutur Prabukusumo.

Penyelenggara acara, Widiasto Wasonoputro menyampaikan hal senada tentang Syawalan yang bernuansa politis ini. "Ketika kita membawa nuansa religius, nuansa kultur kedalam ranah yang katakanlah itu politik, itu artinya kita menjadikan politik sesuatu yang lembut. Ini adalah tampilan politik kebudayaan ala Yogya," ujar Widiasto.

Bagi Prawiroharjo, seorang abdi dalem Kraton dari Bantul, bisa bersalaman dengan Sultan memberikan rasa gembira sekaligus puas. "Saya merasa lega, nyaman, setelah jabat asto (tangan) dengan Sri Sultan. Saya ingin jabat tangan dengan Sultan untuk minta doa restu supaya saya sekeluarga bisa mengabdi dengan tenteram sekeluarga," kata Prawiroharjo.

Ikut hadir dalam acara ini, sejumlah mahasiswa dari luar kota maupun luar negeri yang sedang belajar di Yogyakarta, dan tak ketinggalan, para turis mancanegara. Pagelaran kesenian tradisional Jawa maupun modern juga turut memeriahkan acara, seperti penampilan Jogja Hip Hop Foundation yang belum lama ini tampil dalam sebuah festival di New York.

XS
SM
MD
LG