Tautan-tautan Akses

Gubernur Tolak Tandatangani Qanun, Pilkada Aceh Terancam Batal


Mantan pemimpin GAM, Irwandi Yusuf saat dilantik menjadi Gubernur Aceh pada 8 Februari 2007.
Mantan pemimpin GAM, Irwandi Yusuf saat dilantik menjadi Gubernur Aceh pada 8 Februari 2007.

Peneliti senior International Crisis Group (ICG), Sidney Jones, menilai perselisihan ini bisa memicu kekerasan dan mengganggu proses demokrasi di Aceh.

Pilkada di Aceh terancam batal dilaksanakan November mendatang, karena Gubernur Irwandi Yusuf menolak menandatangani qanun (peraturan daerah) baru mengenai pelaksanaan Pilkada. Begitu kuatnya perbedaan pandangan politik, peneliti senior International Crisis Group (ICG), Sidney Jones, menilai perselisihan ini bisa memicu kekerasan dan mengganggu proses demokrasi di Aceh.

Dalam wawancara dengan VOA, Selasa, Penasihat Senior International Crisis Group (ICG) untuk Asia Tenggara, Sidney Jones, mengatakan sikap Irwandi yang tetap kukuh memegang peraturan tahun 2006 semakin mempertajam konflik politik internal diantara GAM serta elit politik secara keseluruhan di Aceh.

Ia mengatakan, “Gubernur Irwandi yang berlatarbelakang GAM menolak menandatangani qanun tersebut, karena menurut Irwandi qanun itu tidak sah dan Pilkada harus dilaksanakan menurut qanun tahun 2006. Partai Aceh (Partai yang dipimpin mantan Perdana Menteri GAM, Malik Mahmud) marah sekali dengan keputusan Irwandi ini dan mengatakan langkah ini tidak demokratis lagi kalau kemauan rakyat tidak dipenuhi. Sekarang ini making hangat karena ada saling tuding yang jelek antara kedua kubu (kubu Irwandi dan Partai Aceh).”

Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan untuk membolehkan pencalonan independen dalam Pilkada, pada Desember 2010. Keputusan MK ini ditanggapi berbeda oleh DPRD Aceh, karena dianggap membuka peluang Irwandi Yusuf untuk ikut maju lagi dalam Pilkada 2011.

Aksi-aksi kekerasan kemudian terjadi dalam beberapa bulan terakhir; seperti pelemparan granat dan pembakaran pos-pos polisi oleh orang-orang tidak dikenal. Situasi ini mendorong Kapolri Jenderal Polisi Timur Pradopo mengunjungi Aceh akhir pekan lalu.

Meskipun tidak melihat potensi konflik yang besar seperti dulu --karena kubu Irwandi didukung oleh Presiden Yudhoyono, Sidney Jones menilai kekerasan akan meningkat seandainya tidak ada pihak yang mengalah. Ia menyebut nama Jusuf Kalla, sebagai penegah yang kemungkinan dapat membantu menurunkan ketegangan, karena Kalla termasuk salah satu deklarator perdamaian di Helsinki tahun 2005, sekaligus dekat dengan pihak GAM dan pemerintah.

Lebih lanjut Jones mengatakan, “Mungkin secara pribadi Jusuf Kalla masih bisa memainkan peranan, tetapi lambat laun Menko Polhukam (Djoko Suyanto) secara diam-diam mungkin bisa menolong juga. Tetapi saya kira juga harus dimengerti, bahwa posisi Partai Aceh tidak mau Irwandi maju, karena kuatir Irwandi akan lebih populer dari calon Partai Aceh. Apa artinya otonomi Aceh kecuali tambahan uang dari pusat dan ini harus dipikirkan mendalam, karena sudah mengganggu makna otonomi khusus dari pusat ke daerah. Kecuali partai lokal seperti Partai Aceh (sebagai bentuk otonomi politik yang sudah disepakati), lalu apa lagi?”

Di samping penolakan atas calon independen, media massa juga menyinggung mandeknya pembangunan ekonomi dan penyimpangan anggaran yang dilakukan pemerintahan Irwandi Yusuf. Hal ini diungkapkan Sekretaris Jenderal Konsorsium Aceh Baru, Djuanda Jamal, kepada VOA, di Jakarta, Selasa.

“Kalau kita lihat pada tahun 2008, ada proyek-proyek yang belum dibayar dan itu totalnya sekitar Rp500 Milyar yang meliputi sekolah, jalan, dan lain-lain. Ketika parlemen daerah yang baru terpilih, mereka membentuk Pansus untuk memonitor apa yang belum dibayar, untuk dibayar pada anggaran 2009. Tapi ternyata rekomendasi pansus itu proyek tidak bisa dibayar karena kebanyakan fiktif atau ada yang baru selesai 20-30%," ujar Juanda.

Menurut Djuanda, pemerintahan Irwandi-Nazar tidak berhasil menjadikan program-program rekonstruksi dan rehabilitasi sebagai modal untuk membangun Aceh lebih baik.

XS
SM
MD
LG