Tautan-tautan Akses

Presiden SBY Ingin Tuntaskan Semua Kasus Pelanggaran HAM


Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bertekad menyelesaikan kasus-kasus berat pelanggaran HAM sebelum lengser tahun 2014.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bertekad menyelesaikan kasus-kasus berat pelanggaran HAM sebelum lengser tahun 2014.

Komitmen menuntaskan kasus pelanggaran HAM sebelum masa kepemimpinannya berakhir tahun 2014, disampaikan Presiden ketika bertemu jajaran pengurus Komnas HAM, Jumat.

Ketika menerima jajaran pengurus Komnas HAM, Jumat siang, Presiden mengaku persoalan pelanggaran HAM seringkali membuat Indonesia menjadi bulan-bulanan di berbagai forum internasional; apakah di Jenewa, Paris, atau di markas besar PBB di New York, Amerika Serikat.

Untuk itu, SBY berkomitmen akan berusaha menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM berat tersebut, sebelum mengakhiri masa jabatannya pada 2014 mendatang. Fokus perhatian Presiden adalah kasus Mei 1998. Namun, pelanggaran HAM yang terjadi jauh sebelumnya diupayakan pula untuk ikut diselesaikan.

Ketua Komnas HAM, Ifdhal Kasim, kepada pers di Kantor Presiden mengatakan, “Saya kira ada yang konkrit, ada komitmen SBY untuk menugaskan jajaran polkamnya. Karena tidak mungkin langsung ditemukan format penuntasan. Ada sikap politik yang jelas untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM. Setiap Kamis dia tahu ada demo dari korban HAM. Dia (Presiden) ingin di akhir periode kepresidenannya masalah-masalah di masa lalu ini tidak ada lagi, selesai. Dia ingin presiden selanjutnya tidak lagi bersua dengan kasus-kasus masa lalu ini.”

Dalam hal ini, kata Ifdhal, mekanisme Pengadilan HAM Ad-hoc tidak dimungkinkan, karena ternyata tidak semua kasus memerlukan jenis pengadilan tersebut.

Maka, sesuai UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, pemerintah perlu mencari penyelesaian lain di luar jalur pengadilan. Misalnya dengan membentuk Komite Kebenaran dan Persahabatan (KKP), sebagaimana yang diputuskan untuk mengakhiri konflik di Timor Leste.
“Kasus yang sudah dilakukan penyelidikan, maka Kejaksaan Agung yang akan melakukan penyidikan kecuali jika Kejaksaan Agung mengeluarkan SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan). Tapi kasus yang belum ada penyelidikan dari Komnas HAM dan membutuhkan penyelesaian yang lebih komprehensif, mungkin mekanisme pengadilan tidak begitu pas, maka dibutuhkan lebih dari sekedar penyelesaian lewat proses pengadilan. Seperti misalnya mekanisme KKP seperti di Timur Leste,” ujar Ifdhal Kasim lagi.

Usulan lain yang disampaikan Komnas HAM adalah Komite Kebenaran dan Rekonsiliasi. Namun, cara ini terhambat oleh ketiadaan UU mengenai pembentukan KKR oleh pemerintah.

Tekad Presiden sedikit banyak memang akan bergantung pada itikad aparat penegak hukum; terutama Kejaksaan Agung, karena semua berkas kasus telah berada di Gedung Bundar sejak 2003. Tetapi, sampai hari ini belum ada kejelasan sikap dari pemerintah dan Kejaksaan Agung untuk menyidang kasus-kasus itu di pengadilan.

Sementara itu, keluarga korban masih terus berdoa dan berharap akan kesungguhan dan janji Presiden Yudhoyono, saat kampanye Pemilihan Presiden tahun 2004.

Ruyati, ibunda dari Eten Karyana, yang tewas dalam kerusuhan Mei 1998, di Jogja Plasa, Klender, Jakarta Timur, menuturkan kepada VOA.
“Sampai sekarang, saya sebagai orangtuanya, ibunya, saya kuat menunggu sampai 12 tahun, Tapi kami tetap menuntut kepada Pak SBY…lihatlah kami-kami ini, ibu-ibu yang sudah tua ini masih berjuang di tengah panas dan hujan, demi diselesaikannya kasus ini…Waktu itu sangat mencekam di Jakarta,” kata Ruyati.

Ruyati, bersama para korban Tragedi Mei lainnya, rutin mengadakan orasi di depan Istana Negara setiap hari Kamis siang.

XS
SM
MD
LG