Tautan-tautan Akses

Politik dan Uang Nodai Sepakbola Indonesia


Penggemar sepakbola di Solo, Jawa Tengah, berdemonstrasi memprotes kekisruhan organisasi pengelola sepakbola di Indonesia. (Foto: Dok)
Penggemar sepakbola di Solo, Jawa Tengah, berdemonstrasi memprotes kekisruhan organisasi pengelola sepakbola di Indonesia. (Foto: Dok)

Konflik sepakbola berkepanjangan antara dua kelompok bisnis yang berafiliasi politik telah memporakporandakan olahraga ini di Indonesia.

Dimulainya musim baru sepakbola di Indonesia bulan ini tidak begitu membawa kegembiraan pada Persija, klub sepakbola Jakarta yang sejarahnya dimulai 1928 pada masa penjajahan Belanda.

Kapten Persija dan pemain top lainnya melihat dari pinggir lapangan, karena belum menerima bayaran dalam lima bulan terakhir. Para pendukung klab masih menggerutu karena karena ada tim lain yang main dengan nama Persija, berikut seragam dengan warna yang sama, di liga tandingan. Harga tiket naik lebih dari 20 persen dalam musim terakhir.

Konflik berkepanjangan mengenai penguasaan sepakbola antara dua kelompok bisnis yang berafiliasi politik telah memporakporandakan olahraga ini. Ada dua liga yang bersaing, satu liga nasional yang melarang atau membuat pemain-pemain terbaik tidak ingin bergabung, tim-tim yang bangkrut, sponsor-sponsor yang lari, tuduhan permainan skor dan korupsi, serta kekisruhan organisasi.

Pada November, pemain Paraguay Diego Mendieta meninggal dunia di rumah sakit, dalam keadaan tidak dibayar gajinya selama empat bulan oleh klubnya di Solo. Meski sebab kematian tidak jelas, insiden tersebut merupakan indikasi lain kacaunya pengelolaan sepakbola di Indonesia.

Setelah tenggat Desember untuk menyelesaikan kekisruhan tak didengar, badan sepakbola dunia FIFA mengatakan akan melarang Indonesia dan klub-klubnya untuk mengikuti kompetisi pada Maret kecuali liga-liga tandingan dapat bersatu. Hal itu akan menghukum satu generasi pemain Indonesia dan penggemar untuk kesalahan-kesalahan pengelola, namun beberapa pihak dalam sepakbola mengatakan hal itu mungkin sebuah kejutan yang diperlukan untuk mendorong perubahan.

“Kita beruntung dapat menghindari larangan pada Desember dan permainan terus berjalan. Namun, perselisihan juga terus berjalan,” ujar Bambang Pamungkas, pemain andalan Indonesia dan kapten Persija.

“Semua pemain Indonesia merasa sedih karena ini. Kita telah bertindak bodoh. Kedua belah pihak seharusnya duduk bersama dan menyelesaikan masalah.”

Sengketa muncul pada 2011, namun berawal sejak 2003, sejak pengusaha kontroversial Nurdin Halid terpilih menjadi ketua Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI). Ia terus menjadi ketua untuk dua periode meski sempat didakwa dan dipenjara dua kali karena korupsi selama itu.

Pemain asal Paraguay Diego Mendieta, yang bermain untuk Persis Solo, tidak mendapat gaji empat bulan sampai ia meninggal karena sakit pada 2012. (Foto: Dok)
Pemain asal Paraguay Diego Mendieta, yang bermain untuk Persis Solo, tidak mendapat gaji empat bulan sampai ia meninggal karena sakit pada 2012. (Foto: Dok)
Setelah perjuangan sengit, ketua baru dipilih 2011 yang segera mengeluarkan semua kaki tangan Nurdin dari kelompok itu, termasuk pelatih tim nasional yang dihormati, Alfred Riedl dari Austria. Mantan anggota kemudian membentuk badan saingan, Komite Penyelamat Sepakbola Indonesia (KPSI), yang didukung oleh beberapa klub dan menyelenggarakan liga yang tidak resmi.

Karena tim nasional dikelola PSSI, banyak klub dalam liga sempalan tidak mengijinkan pemainnya mewakilinya, sehingga menghambat perkembangan. Beberapa klub juga memiliki beberapa versi yang main di kedua liga, membuat penggemar marah dan bingung. Dualitas ini menyulitkan masing-masing pihak untuk maju.

Persija mengaku tidak memiliki uang untuk membayar para pemainnya.

Seminggu sebelum musim pertandingan dimulai, sekelompok penggemar mengumpulkan beberapa juta rupiah dan membeli kulkas serta oven untuk kantin dimana banyak pemain muda tinggal dan berlatih.

“Kita mengalami kebuntuan,” ujar juru bicara Persija, Viola Kurniawati. “Sponsor potensial tidak percaya pada sepakbola Indonesia lagi. Mereka takut karena ada dua Persija.”

Masing-masing fraksi mengklaim sebagai wakil resmi sepakbola tersebut di Indonesia. Namun perselisihannya sekarang adalah mengenai uang – perlu sekitar Rp 10 miliar per musim untuk membuat sebuah klub olahraga tetap berjalan, ego mereka yang ada di belakang fraksi-fraksi tersebut dan bahkan pertimbangan politik nasional.

“Kita ingin sepakbola yang jujur, mereka tidak,” ujar sekretaris jenderal PSSI Halim Mahfudz, yang mengatakan FIFA seharusnya berpihak pada mereka dan kepolisian seharusnya menegakkan hukum yang menurutnya melarang adanya organisasi-organisasi olahraga yang dibentuk tanpa ijin asosiasi nasional. Ia menuduh KPSI mencoba mendorong larangan FIFA, sehingga dapat bangkit.

“Orang di luar Indonesia tidak paham bahwa ini ada pertimbangan politik dan kurangnya penegakan hukum.”

KPSI didanai oleh Nirwan Bakrie, abang Aburizal Bakrie. Mahfudz dan pengurus lainnya menuduh Aburizal ingin mengontrol sepakbola untuk menaikkan kansnya dalam pemilihan umum 2014 nanti.

Banyak klub di Indonesia menerima uang dari pemerintah daerah untuk tetap berjalan dan telah dipergunakan oleh politisi untuk menyebarkan uang kepada tokoh-tokoh di daerah yang berkuasa dan memobilisasi pendukung.

Joko Driyono, ketua liga KPSI, menyangkal ambisi politik Aburizal sebagai faktor.

"Itu kampanye hitam dari pihak sana,” ujarnya. “Kami menghormati PSSI, tapi tidak orang-orang di belakangnya.”

Ia mengatakan seharusnya diadakan kongres untuk semua klub dan anggota PSSI untuk memilih pemimpin baru.

Meski ada kekisruhan, klub-klub Eropa tetap antre untuk bermain sepakbola persahabatan dengan Indoensia.

“Sepakbola di Indonesia sangat seksi karena jumlah penduduknya,” ujar Widjajanto, ketua liga PSSI.

FIFA dan badan sepakbola Asia, AFC, ada dalam posisi yang sulit. Meski ada ancaman untuk memecat Indonesia, beberapa pihak yakin mereka tidak akan melakukannya karena perlawanan di dalam tubuh asosiasi sendiri. Beberapa pihak di AFC, yang juga sedang berada dalam gejolak transisi kepemimpinan, tidak ingin kehilangan anggota dalam waktu yang penting ini. AFC tidak melakukan apa pun ketika Nurdin memimpin organisasi dari belakang jeruji penjara, dan baik AFC maupun FIFA sama-sama bersalah karena membiarkan kekacauan terjadi di Indonesia untuk sekian lama.

Beberapa negara memiliki dua liga, namun FIFA menyatakan bahwa keduanya harus diawasi oleh asosiasi nasional. Pemerintah telah mengancam akan berpihak pada PSSI, namun hal itu juga akan memicu perlawanan dari FIFA, yang tidak mengijinkan negara ikut campur dalam mengelola sepakbola.

Para penggemar sepakbola mulai kehilangan kesabaran.

“FIFA seharusnya memilih saja salah satu dari mereka,” ujar Yuditya Abhayamudra, seorang penggemar Persija. “Apa susahnya?” (AP/Chris Brummitt)

Recommended

XS
SM
MD
LG