Tautan-tautan Akses

Pesawat Lion Air yang Jatuh Harus Dipotong-Potong


Jet Lion Air yang tergelincir ke laut terlalu berat untuk diderek dan dikhawatirkan akan merusak terumbu karang sehingga harus dipotong-potong. (Foto: POLRI)
Jet Lion Air yang tergelincir ke laut terlalu berat untuk diderek dan dikhawatirkan akan merusak terumbu karang sehingga harus dipotong-potong. (Foto: POLRI)

Pesawat Lion Air yang jatuh di laut dekat bandara Bali harus dipotong-potong untuk mencegah kemungkinan merusak terumbu karang.

Pesawat jet Lion Air yang tergelincir ke laut saat hendak mendarat di Bali akhir pekan lalu masih terapung di laut dangkal dan harus dipotong-potong untuk dipindahkan, menggambarkan tantangan besar maskapai penerbangan berbiaya rendah tersebut dalam upayanya berekspansi di wilayah Asia.

Pihak berwenang awalnya berencana menderek pesawat Boeing 737-800 yang terbelah dua tersebut, namun sekarang memutuskan pesawat itu terlalu berat dan harus dipotong menjadi beberapa bagian untuk mencegah kemungkinan merusak terumbu karang di wilayah tersebut, ujar juru bicara Kementerian Perhubungan Bambang Ervan.

Ekor pesawat itu bertengger di atas karang, membuatnya tidak stabil ketika ombak menimpa bangkai pesawat. Sebuah tim penyelam Angkatan Laut menemukan perekam suara kokpit Senin (15/4) setelah membuat lubang dalam ekor pesawat yang terbenam sebagian, ujar Purwanto, manajer umum bandar udara Ngurah Rai.

Alat perekam tersebut merupakan salah satu bagian kunci dari penyeldikan pihak berwenang untuk mengetahui penyebab kecelakaan. Perekam data penerbangan sudah diambil dan dikirim ke Jakarta untuk dianalisis.

Sejumlah 101 penumpang penerbangan Bandung-Bali -- termasuk lima orang asing dari Singapura, Perancis dan Belgia – dan tujuh awak kabin selamat dalam kecelakaan jatuhnya pesawat tersebut Sabtu (11/4). Perut pesawat menghempas ke laut tak jauh dari landasan pesawat, membuat badan pesawat terbelah dua. Diperkirakan kecepatan peseawat mencapai 350 kilometer per jam pada saat kecelakaan.

Kecelakaan ini menimbulkan pertanyaan di antara beberapa analis mengenai apakah Lion Air lebih mengutamakan pertumbuhan dibandingkan keselamatan. Sebagai maskapai swasta terbesar di Indonesia, yang didirikan pada 1999 oleh dua orang kakak beradik dengan modal Rp 8,2 miliar, membuat industri penerbangan terhenyak dua tahun lalu saat mengumumkan pemesanan pesawat terbang Boeing terbesar yang pernah ada, yaitu sebanyak 230 jet, pada sebuah acara yang dihadiri Presiden AS Barack Obama.

Lion Air membuat berita lagi bulan lalu setelah menandatangani kontrak senilai US$24 miliar untuk membeli 234 pesawat dari Airbus, atau pemesanan terbesar untuk produsen pesawat Perancis tersebut. Pengembangan armada tersebut akan membuat Lion Air menyaingi maskapai AirAsia, yang mendominasi penerbangan berbiaya rendah di wilayah Asia.

Lion Air menguasai sekitar 45 persen pasar perjalanan udara di Indonesia dan berharap meningkatkannya menjadi 60 persen pada 2014 seiring melonjaknya perjalanan berbiaya rendah di negara ini. Maskapai ini mencatat tujuh kecelakaan dan insiden sejak 2002, kebanyakan minor namun hampir semuanya terjadi pada saat mendarat. Kecelakaan terburuk adalah pada saat pesawat jatuh pada 2004 yang menewaskan 25 orang.

Tekanan untuk menerbangkan pesawat, ditambah kesulitan mencari pilot berkualifikasi dapat menambah beban maskapai, ujar Tom Ballantyne, ahli aviasi berbasis di Sydney.
“Ini merupakan masalah bagi maskapai-maskapai yang berekspansi dengan cepat,” ujarnya.

Indonesia sendiri memiliki sejarah buruk dalam keamanan udara. Pada 2007, Uni Eropa melarang semua maskapai Indonesia terbang ke wilayah itu karena kurangnya kepatuhan terhadap aturan keamanan internasional. Larangan itu telah dicabut untuk beberapa maskapai menyusul perbaikan yang dilakukan, namun Lion Air masih ada dalam daftar hitam.

Seorang pejabat Uni Eropa di Brussels pada Senin mengatakan komisinya menunggu penegasan dari Indonesia mengenai pemenuhan standar-standar keamanan yang diwajibkan sebelum langkah berikutnya dapat diambil.

Meski ada upaya untuk memperbaiki industri, Indonesia masih kesulitan mencari pilot, mekanis, pengawas lalu lintas udara dan inspektur yang berkualifikasi. Teknologi dan infrastruktur bandar udara juga masih tertinggal, dengan kasus yang paling disorot adalah padamnya listrik selama 15 menit akhir tahun lalu di bandar udara Soekarno-Hatta yang mengganggu sistem radar berusia 26 tahun.

Saat ini Indonesia memerlukan 800 pilot per tahun, namun hanya dapat menyiapkan sekitar 500, menurut Menteri Perhubungan E.E. Mangindaan.

“Kita masih kekurangan pilot di tengah lonjakan perjalanan udara ini,” ujarnya.
Pilot asing sekarang dipekerjakan untuk maskapai domestik dan sekolah-sekolah penerbangan sedang dibangun, ujarnya.

Alvin Lie, mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan analis penerbangan, mengatakan langkah agresif Lion Air untuk membeli lebih banyak pesawat tampaknya menambah beban para pilot. Namun ia mengatakan kecelakaan di Bali sepertinya tidak akan mempengaruhi bisnis di Indonesia.

“Jika di luar negeri, hal itu akan jelas mengurangi kepercayaan konsumen,” ujarnya. “Tapi karakteristik konsumen Indonesia berbeda. Yang terpenting untuk mereka adalah harga murah.” (AP/Firdia Lisnawati dan Niniek Karmini)

Recommended

XS
SM
MD
LG