Tautan-tautan Akses

Pemuka Budha dan Muslim Dunia Tolak Kekerasan atas Nama Agama


Para pemuka agama Budha dan Islam berpose bersama di komplek candi Borobudur setelah selesai pertemuan tingkat tinggi, Rabu 4/3 (foto: VOA/Munarsih).
Para pemuka agama Budha dan Islam berpose bersama di komplek candi Borobudur setelah selesai pertemuan tingkat tinggi, Rabu 4/3 (foto: VOA/Munarsih).

Pertemuan tingkat tinggi para pemuka agama Budha dan Islam dunia berakhir hari Rabu (4/3) dengan penyampaian apa yang disebut Yogyakarta Statement, berupa komitmen bersama untuk mengatasi paham ekstremisme dan menolak penyalahgunaan agama untuk kekerasan.

Para pemuka agama Budha dan Islam dari 15 negara hari Rabu (4/3) mengakhiri pertemuan tingkat tinggi di komplek candi Borobudur dengan menyampaikan rekomendasi yang disebut Yogyakarta Statement atau Pernyataan Yogyakarta.

Dalam pernyataan tersebut, mereka menolak penyalahgunaan agama untuk mendorong diskriminasi dan kekerasan, dan menyerukan untuk melawan interpretasi dan aksi keagamaan yang ekstrim.

Para pemuka dua agama juga mendorong peran pemerintah untuk menolak diskriminasi dan kekerasan atas nama agama, serta menyerukan kepada seluruh negara untuk memenuhi tanggung-jawab mereka dalam melindungi seluruh warga negaranya dari kebencian berdasarkan agama dan suku, dan dorongan untuk diskriminasi dan kekerasan atas nama agama.

Sehingga mereka kembali menekankan beragaman agama yanghidup berdampingan dengan damai, dengan kasih sayang dan keadilan universal, hidup harmonis dengan lingkungan, martabat dan kehormatan kemanusiaan serta anti-kekerasan.

Termasuk dalam Pernyataan Yogyakarta adalah rencana aksi termasuk prakarsa intra dan antar agama untuk pendidikan dan advokasi serta mencegah konflik antar agama, yang berbunyi:

DR Chandra Muzaffar (kiri) mewakili ulama Muslim dan DR Bellanwila mewakili pemuka Budhist menyampaikan Yogyakarta Statement, Rabu 4/3 (foto: VOA/Munarsih).
DR Chandra Muzaffar (kiri) mewakili ulama Muslim dan DR Bellanwila mewakili pemuka Budhist menyampaikan Yogyakarta Statement, Rabu 4/3 (foto: VOA/Munarsih).

"Memberikan reaksi cepat, melakukan kunjungan solidaritas, mencegah konflik, mengembangkan dan menyediakan perangkat serta materi untuk aksi bersama yang strategis serta menggunakan media untuk pesan-pesan positif,” demikian salah satu poin pernyataan Yogyakarta tersebut.

Pertemuan tingkat tinggi pemuka agama Budha dan Islam tersebut merupakan lanjutan dari sejumlah pertemuan serupa, khususnya di kawasan Asia. Pertemuan difasilitasi antara lain Forum Internasional Budha-Islam (BMF) dan diselenggarakan oleh Perwalian Umat Budha Indonesia (WALUBI) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Rev. Kyoichi Sugino dari Religions for Peace yang berbasis di New York menyebut pertemuan kali ini bersejarah karena pemuka 2 agama bukan hanya mengeksplorasi kesamaan tetapi juga menyusun aksi nyata untuk melawan ekstrimisme agama yang menguat akhir-akhir ini.

“Kita semua harus merespon terhadap penyalah-gunaan agama yang mendukung diskriminasi, kekerasan dan ekstrimisme, dan kita semua berada disini untuk mengatasi persoalan itu. Meskipun Asia tidak terlalu terdampak oleh praktek ekstrimisme tetapi kita menengarai di wilayah ini terdapat kecenderungan ekstrimisme dan kita harus menghadapinya,” ujar Sugino.

Di kawasan Asia Tenggara (ASEAN), agama Budha dan Islam merupakan agama mayoritas dengan muslim sekitar 42 persen dan Budha sekitar 40 persen. Profesor Din Syamsudin dari MUI mengatakan pemuka agama-agama dan tokoh moderat diperlukan membantu mencegah konflik antar umat dua agama di kawasan Asia, termasuk kasus Rohingya.

Din mengatakan, “Perlu tampil tokoh-tokoh agama lingkaran tengah yang moderat ini menjadi kekuatan penengah dan perantara. Tetapi, negara juga kita harapkan hadir karena agama karena ada porsi tanggung jawab negara seperti pada penegakan hukum.”

Somboon Chungprampree, Sekretaris Eksekutif jaringan internasional umat Budha (INEB) di Thailand mengatakan, organisasinya kini lebih aktif melakukan dialog dengan banyak kelompok Islam di Thailand.

XS
SM
MD
LG