Tautan-tautan Akses

Pemerintah Didesak Ungkap Kasus Pembunuhan Marsinah


Aksi di Bundaran HI Jakarta yang menuntut penuntasan kasus kematian Marsinah, yang dibunuh 20 tahun lalu. (VOA/Andylala Waluyo)
Aksi di Bundaran HI Jakarta yang menuntut penuntasan kasus kematian Marsinah, yang dibunuh 20 tahun lalu. (VOA/Andylala Waluyo)

Puluhan aktivis buruh dan perempuan menuntut pemerintah mengungkap kasus pembunuhan Marsinah yang tewas dibunuh 20 tahun lalu.

Adakan aksi keprihatinan memperingati 20 tahun pembunuhan Marsinah pada Rabu malam (8/5), puluhan aktivis dari kalangan buruh, hak asasi manusia dan organisasi wartawan yang menamakan diri Komite Aksi Perempuan, menuntut pemerintah mengungkap kasus tersebut.

Marsinah, kelahiran Nganjuk pada 10 April 1969, adalah aktivis buruh asal Nganjuk Jawa Timur yang tewas mengenaskan pada 1993 setelah sebelumnya aktif terlibat dalam aksi pemogokan buruh PT Catur Putra Surya di Sidoarjo Jawa timur, menuntut kenaikan upah.

Pada 8 Mei 1993, jenazah Marsinah ditemukan setelah hilang tiga hari di gubuk petani dekat hutan Wilangan Nganjuk Jawa Timur dengan kondisi sekujur tubuhnya penuh luka memar bekas pukulan benda keras.

Kasus ini masuk menjadi salah satu kasus perburuhan di ILO (Organisasi Buruh Internasional) yang dikenal sebagai kasus 1713. Hingga sekarang belum diketahui siapa pembunuh Marsinah.

Dian Novita selaku juru bicara Komite Aksi Perempuan menegaskan negara harus bertanggung jawab menuntaskan kasus ini karena bukan tergolong dalam unsur kriminal biasa, tapi sudah masuk dalam unsur pelanggaran hak asasi manusia.

“Dua puluh tahun ini kasus Marsinah sudah kritis. Pada awal pelaporan, kasus Marsinah masuk dalam kriminal murni. Dan kasus kriminal murni dalam 20 tahun dia akan kadaluarsa,” ujarnya.

“Menurut kami para aktivis hak asasi manusia, kasus Marsinah bukan kasus kriminal murni karena yang melakukan (penganiayaan dan pembunuhan) diindikasikan adalah tentara di kantor Komando Distrik Militer (Kodim) Sidoarjo. Apalagi Marsinah diketahui adalah aktivis buruh yang memperjuangkan upah layak. Ini yang terus kami dorong kepada pemerintahan sekarang, bahwa kasus Marsinah harus diletakan dalam kasus pelangggaran HAM berat dan negara harus bertanggung jawab.”

Dian menambahkan, Komite Aksi Perempuan telah melakukan pertemuan dengan Komnas HAM terkait pengungkapan kembali kasus ini.

Komisioner Komnas HAM Natalius Pigai kepada VOA menjelaskan, Komnas HAM akan mempelajari kembali berkas kasus penyelidikan kasus Marsinah.

“Baru kemarin (Selasa 7/5) kami didatangi oleh pengadu (Komite Aksi Perempuan). Kita buka berkas kasus dulu. Setelah buka berkas nanti kita pelajari. Setelah itu kita diskusikan, kemudian kita cari berkas yang lain, lihat dan cek lagi,” ujarnya.

Hari Wibowo, mantan Koordinator Tim Pencari Fakta untuk Marsinah kepada VOA mengatakan, proses hukum penyelesaian kasus Marsinah oleh pemerintahan Orde Baru pada waktu itu penuh dengan rekayasa. Aparat penegak hukum pada waktu itu, menurut Hari, menangkap delapan orang direksi dan manajemen PT Catur Putra Surya serta memaksa mereka mengaku sebagai pelaku pembunuhan Marsinah.

“Pada Oktober 1993 ada delapan orang yang terdiri dari pemilik perusahaan PT Catur Putra Surya dimana Marsinah bekerja, hilang selama kurang lebih 2 minggu. Kemudian diketahui mereka ada di Polda Jatim. Intinya ada proses penculikan terhadap delapan orang ini. Dan pada titik itu kita sudah mencium ada yang tidak beres. Pemilik perusahaan dan manajemen PT Catur Putra Surya itu diperiksa dengan siksaan yang cukup berat. Lalu dibuatlah satu rekayasa pengadilan yang menuduh mereka berkonspirasi untuk membuh Marsinah,” ujarnya.

Total jumlah terdakwa pada waktu itu menurut Hari ada 10 orang, salah satunya anggota TNI. Di pengadilan tingkat pertama mereka di vonis antara empat hingga 17 tahun penjara dan dikuatkan di pengadilan tinggi. Di tingkat kasasi Mahkamah Agung semasa pemerintahan Presiden BJ Habibie, mereka divonis bebas murni.

Tuntutan pengungkapan kasus pembunuhan Marsinah juga disuarakan beberapa kelompok jurnalis, diantaranya Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia. Rika Theo dari Divisi Perempuan AJI Jakarta memastikan, apa yang dialami Marsinah, juga dialami oleh jurnalis hingga berujung pada kematian. AJI, tambah Rika, akan membantu mengangkat kasus ini di media.

“Karena wartawan itu juga buruh. Yang kedua ada banyak kasus kekerasan yang sama dengan yang dialami Marsinah dan juga dialami wartawan. Kita tahu siapa pelakunya tapi kasusnya tidak selesai. Ambil contoh kasus Udin wartawan harian Bernas. Kami akan bantuan menyebarkan kasus ini di media,” ujarnya.

Recommended

XS
SM
MD
LG