Tautan-tautan Akses

Pemeriksaan Saksi Kasus LP Sleman Diharapkan Lewat Konferensi Jarak Jauh


Para polisi melakukan pengawalan ketas atas Lapas Cebongan di Sleman, Yogyakarta pasca terjadinya serangan oleh beberapa orang bersenjata (23/3). (Foto: Dok)
Para polisi melakukan pengawalan ketas atas Lapas Cebongan di Sleman, Yogyakarta pasca terjadinya serangan oleh beberapa orang bersenjata (23/3). (Foto: Dok)

Sidang pemeriksaan saksi kasus pembunuhan tahanan LP Sleman didesak agar dilakukan lewat konferensi jarak jauh untuk memberi rasa aman pada saksi.

Karena banyak saksi yang trauma, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) telah meminta Mahkamah Agung mengizinkan sidang pemeriksaan para saksi kasus pembunuhan di Lembaga Pemasyarakatan Sleman lewat konferensi jarak jauh atau teleconference.

Cara ini memang dimungkinkan oleh undang-undang apabila dinilai terdakwa atau saksi karena satu dan lain hal tidak dapat hadir langsung di persidangan. Dalam kasus dugaan pembunuhan empat tahanan Lembaga Pemasyarakatan Sleman oleh anggota Komando Pasukan Khusus (Kopassus) pada 23 Maret 2013 lalu, ada 43 orang saksi, baik tahanan maupun sipir dan 12 terdakwa dari Kopassus.

Wakil Ketua LPSK Lies Sulistiani mengatakan, mengingat waktu pelaksanaan persidangan yang sudah semakin dekat, diharapkan Mahkamah Agung segera mengeluarkan keputusan terkait hal ini. LPSK dan lembaga terkait telah melakukan berbagai persiapan jika sewaktu-waktu sidang digelar, ujarnya.

“Suratnya memang belum ada respon, tetapi kita sudah menyiapkan apabila sarana teleconference ini memang diperlukan. Tetapi sekali lagi, memang itu harus dengan persetujuan hakim. Undang-undangnya memang bunyinya demikian. Jadi kita juga tidak bisa memaksakan kehendak,” ujar Lies.

Ia menambahkan, hingga saat ini LSPK masih memberikan konseling kepada para saksi, terutama kepada mereka yang mengalami trauma. Konseling dilakukan untuk mengantisipasi jika memang pada waktunya persidangan digelar, belum ada keputusan dari hakim sehingga para saksi harus tetap datang ke pengadilan, ujarnya.

“Ada beberapa saksi yang kelihatannya masih trauma. Nah yang trauma ini apakah bisa cukup dilakukan dengan konseling saja secara psikologis, diyakinkan mereka supaya mantap dan tidak perlu bersidang secara teleconference atau tetap mekanisme itu kita gunakan. Nah ini belum ada kepastiannya,” tambahnya.

Sementara itu, Rusdianto, Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Daerah Istimewa Yogyakarta, kepada VOA menyatakan dukungan penuh penggunaan sistem jarak jauh tersebut. Rusdianto mengatakan, meskipun pihak kepolisian dan militer memberikan jaminan keamanan, tetapi persoalannya tidak hanya fisik para saksi yang harus diamankan, tetapi juga kondisi psikologis mereka. Teleconference akan memungkinkan para saksi bicara tanpa tekanan, ujarnya.

“Agar mendapatkan kesaksian yang obyektif, yang apa adanya, tentu dengan cara teleconference itu lebih bagus, lebih mudah, karena khususnya bagi para tahanan, tahanan ini kan sedang berhadapan dengan permasalahan hukumnya sendiri, sementara dia akan menjadi saksi. Ini menjadi beban moril, beban psikologis yang cukup berat,” ujarnya.

“Kalau dilakukan teleconference, itu jauh lebih bagus. Supaya hakim di dalam mengorek data, mengorek informasi itu akan mendapatkan hasil yang lebih obyektif. Kalau dia berada di persidangan di gedung pengadilan kemungkinan akan mengalami tekanan psikologis."

Sebelumnya, dalam berbagai kesempatan beberapa petinggi militer di Yogyakarta seperti Komandan Komando Resort Militer (Korem) 072/Pamungkas Brigjen Adi Widjaja mendesak agar sidang menghadirkan para saksi secara langsung.

Alasannya, kehadiran para saksi di pengadilan akan menjamin sidang berjalan adil bagi seluruh pihak. Sebagai konsekuensi, pihak militer memberikan jaminan keamanan kepada seluruh saksi, ujarnya.

Recommended

XS
SM
MD
LG