Tautan-tautan Akses

PBB Kecam Biksu Myanmar yang Sebut Utusan PBB 'Pelacur'


Biksu Buddhis di Myanmar, Wirathu (tengah), pemimpin gerakan ultra-nasionalis 969, dalam sebuah pertemuan mengenai UU Perlindungan Nasional di Yangon, 2013.
Biksu Buddhis di Myanmar, Wirathu (tengah), pemimpin gerakan ultra-nasionalis 969, dalam sebuah pertemuan mengenai UU Perlindungan Nasional di Yangon, 2013.

Komisioner PBB untuk HAM mengatakan bahasa yang digunakan oleh Wirathu terhadap utusan PBB ke Myanmar "sangat tidak bisa diterima", "seksis" dan "menghina."

Pejabat hak asasi manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa mendesak para pemimpin Myanmar untuk mengutuk seorang biksu Buddhis ultranasionalis yang menyebut seorang perwakilan PBB yang berkunjung ke negara itu "perempuan jalang" dan "pelacur" dalam sebuah demonstrasi minggu lalu.

Zeid Ra'ad Al Hussein, Komisioner PBB untuk HAM, mengatakan bahasa yang digunakan oleh Wirathu dalam kunjungan 10 hari Yanghee Lee ke Myanmar "sangat tidak bisa diterima."

"Saya menyerukan para pemimpin agama dan politik di Myanmar untuk secara tegas mengutuk semua bentuk hasutan untuk kebencian termasuk serangan pribadi secara publik yang menjijikkan ini," ujar Zeid dalam sebuah pernyataan yang dirilis dari Jenewa, Rabu (21/1).

"Tidak bisa ditolerir jika pelapor khusus PBB diperlakukan seperti ini," ujarnya, menyebut bahasa itu "seksis" dan "menghina."

Kebebasan berekspresi yang baru berlaku yang menyertai transisi negara dengan penduduk mayoritas Buddhis itu dari setengah abad kekuasaan militer pada 2011, mengangkat ke permukaan prasangka mendalam terhadap minoritas Muslim Rohingya, dan mereka yang dianggap membela mereka.

Wirathu telah dituduh menghasut kekerasan dengan retorika anti-Islam penuh kebencian yang membuat ratusan orang tewas sejak 2012 dan telah memaksa ratusan ribu lainnya mengungsi, sebagian besar Rohingya di negara bagian Rakhine.

Lee adalah fokus dari kritikan dalam demonstrasi yang dihadiri Wirathu dan beberapa ratus orang, banyak diantaranya biksu, Jumat lalu.

Utusan PBB itu telah mengkritik beberapa aturan yang diusulkan sebuah koalisi biksu Buddhis nasionalis, termasuk rancangan undang-undang yang akan mengekang pernikahan antar agama dan pindah agama, dengan mengatakan bahwa RUU itu diskriminatif terhadap perempua dan minoritas serta dapat memicu ketegangan.

"Kami telah menjelaskan mengenai aturan perlindungan ras, tapi perempuan jalang itu (Lee) mengkritik aturan-aturan tanpa mempelajarinya secara benar," teriak Wirathu dari sebuah panggung yang disambut sorak sorai riuh.

"Jangan berasumsi kamu seseorang yang dapat dihormati hanya karena posisimu (di PBB). Bagi kami, kau adalah seorang pelacur."

Biksu itu juga menuduh Lee berpihak kepada Muslim Rohingya.

"Kamu bisa tawarkan bokongmu pada 'kalars' jika mau tapi kamu tidak akan menjual negara bagian Rakhine milik kami," ujarnya. Kalars adalah kata menghina terhadap orang-orang keturunan Asia Selatan.

Warga Muslim Rohingya di kamp pengungsi di luar Sittwe, Myanmar.
Warga Muslim Rohingya di kamp pengungsi di luar Sittwe, Myanmar.

​Lee merespon secara tidak langsung pada pernyataan Wiratu, Senin, dalam pernyataan yang dikeluarkan kantornya.

"Dalam kunjungan saya, saya menghadapi jenis intimidasi seksis yang dialami perempuan pembela hak asasi manusia ketika mengadvokasi isu-isu kontroversial," ujarnya.

Sebagian besar dari 1,3 juta orang Rohingya di Myanmar hidup dalam kondisi seperti apartheid di Rakhine. Tak diberikan kewarganegaraan oleh negara, mereka memiliki akses terbatas terhadap kesehatan dan pendidikan, dan menghadapi keterbatasan gerak. Lebih dari 100.000 dari mereka telah melarikan diri ke negara lain dalam dua tahun terakhir.

Menodai Agama Buddha

Seorang biksu terkemuka lainnya mengatakan Wirathu telah melanggar aturan biara dana dapat merusak agamanya, namun ia sepertinya tidak akan menghadapi kecaman.

Pidato Wirathu dikutuk oleh Thawbitha, seorang pemimpin kelompok progresif Jaringan Biksu Buddhis Revolusi Safron di Mandalay, tempat Wirathu juga berbasis.

"Kata-kata yang dipakainya hari itu sangat menyedihkan dan mengecewakan. Itu aksi yang dapat sangat melukai Buddhisme," ujar Thawbita kepada kantor berita Reuters.

Jaringan itu dibentuk oleh biksu-biksu yang membantu mengepalai Revolusi Safron, gerakan demokrasi seluruh negeri yang dihantam secara brutal oleh militer. Kelompok ini berpengaruh di antara umat Buddhis yang terdidik, namun tidak memiliki kekuasaan besar.

Seorang pejabat senior di Kementerian Agama Myanmar mengatakan tidak ada rencana untuk bertindak melawan Wirathu.

"Tentu saja ia memiliki hak mengekspresikan opininya namun ia tidak seharusnya menggunakan kata-kata itu," ujar pejabat itu, yang meminta tidak disebutkan namanya karena sensitivitas isu tersebut.

"Hal itu dapat merusaka citra agama kita di antara mereka yang tidak betul-betul mengerti esensinya." (AP/Reuters)

XS
SM
MD
LG