Tautan-tautan Akses

Obama Presiden AS Pertama yang Kunjungi Ethiopia


An Afghan man reacts at the site of a blast in Kabul, Afghanistan, May 31, 2017.
An Afghan man reacts at the site of a blast in Kabul, Afghanistan, May 31, 2017.

Presiden Amerika Serikat Barack Obama mengatakan ia bangga menjadi Presiden Amerika Serikat pertama yang mengunjungi Ethiopia dan bahwa perjalanannya menggarisbawahi pentingnya Amerika Serikat di Ethiopia dan seluruh Afrika.

Obama berbicara di Addis Ababa pada konferensi pers bersama dengan Perdana Menteri Ethiopia Hailemariam Desalegn setelah pembicaraan mereka hari Senin.

Obama mengatakan AS akan terus bekerja untuk memajukan pembangunan ekonomi Ethiopia, meningkatkan akses listrik, hak asasi manusia dan memperbaiki tata kelola pemerintahan.

Desalegn mengatakan dalam pidato pembukaan dalam konferensi pers tersebut bahwa ia merasa terhormat untuk menjadi tuan rumah dalam kunjungan presiden Amerika Serikat untuk pertama kalinya di negaranya. Ia mengatakan Afrika dan Ethiopia membuat langkah penting dan kunjungan Obama ini bersamaan saat Ethiopia tengah bekerja keras menata pemerintahan dan memerangi terorisme.

Ia mengatakan ia dan Presiden Obama berbicara panjang lebar tentang dukungan AS dalam memperluas perdagangan dan investasi di Ethiopia.

"Kami telah sepakat untuk bekerja sama di Sudan Selatan dan membangun perdamaian di Somalia, dan untuk meningkatkan kerjasama intelijen yang 'penting' untuk melawan terorisme," kata perdana menteri, menambahkan bahwa serangan hari Minggu di Mogadishu mengingatkan dengan jelas adanya ancaman terorisme.

Obama tiba di Istana Nasional di Ethiopia sehari setelah ledakan bom di sebuah hotel Mogadhishu yang diklaim oleh al-Shabab. Setidaknya 13 orang tewas dalam serangan di Hotel Jazeera tersebut. AS telah mengecam keras serangan itu.

Selain mengadakan pembicaraan dengan Desalegn, presiden akan mengadakan pertemuan dengan para kepala negara Afrika Timur untuk membahas konflik Sudan Selatan.

Diskusi dengan Desalegn, Senin (27/7) berfokus pada anti-terorisme, dengan Amerika Serikat melihat Ethiopia sebagai sekutu utama dalam memerangi kelompok ekstremis Islam al-Shabab dan membantu untuk menstabilkan Somalia.

Sejalan dengan pembicaraan bilateral, Gedung Putih mengumumkan Amerika Serikat bermaksud untuk memberikan sedikitnya $40 juta dalam bantuan terkait dengan melawan kekerasan ekstremisme di Afrika Timur dari $465 juta dana yang diusulkan untuk pelatihan, peralatan, peningkatan kapasitas dan melawan kekerasan oleh ekstremis di seluruh Afrika.

Terorisme ini juga menjadi fokus dalam pembicaraan pemimpin Amerika dengan Presiden Kenya Uhuru Kenyatta di Nairobi pada 25 Juli. Kenyatta akan bergabung dengan Presiden Obama dan para pemimpin dari Uni Afrika, Uganda dan Sudan, Senin untuk melakukan pembicaraan yang difokuskan pada krisis di Sudan Selatan.

Hak Asasi Manusia

Kunjungan Obama ke Ethiopia telah menuai kritik dari aktivis hak asasi manusia yang mengatakan rezim represif Perdana Menteri Desalegn telah menangkap wartawan, pembangkang dan anggota oposisi selama operasi kontraterorisme. Pemimpin AS diperkirakan akan mengungkit catatan hak asasi manusia negara itu selama pembicaraan Senin (27/7).

Berhane Gebrechristos, Menteri Luar Negeri Ethiopia, mengatakan kepada VOA bahwa pertemuan ini akan mengedepankan terorisme.

"Ethiopia dan Amerika Serikat memiliki kepentingan bersama yang mutlak. Dan kepentingan-kepentingan inilah yang selalu membawa kita bersama-sama. Tapi saat ini, kepentingan akan lebih ditingkatkan dan hubungan AS-Ethiopia akan lebih dipererat," katanya.

Menjelang pembicaraan hari Senin, Obama disambut di Istana Nasional di Addis Ababa. Obama juga berencana untuk bertemu dengan Presiden Ethiopia Mulatu Teshome.

Presiden Barack Obama melambaikan tangan ke arah hadirin setelah berpidato di Arena Safaricom (26/7) di Nairobi.
Presiden Barack Obama melambaikan tangan ke arah hadirin setelah berpidato di Arena Safaricom (26/7) di Nairobi.

Kunjugan ke Kenya

Sebelum ke Ethiopia, Obama menghabiskan dua hari lawatannya di Kenya, tanah air ayahnya, di mana ia dipuji sebagai putra wilayah tersebut.

Dalam pidato sebelum meninggalkan negara tersebut, Minggu (26/7), presiden Obama mengatakan Kenya tengah berada di persimpangan jalan "penuh bahaya, tetapi juga banyak hal besar yang menjanjikan."

Di Nairobi, presiden memuji prestasi Kenya yang telah memenangkan kemerdekaannya pada tahun 1963, di antaranya mengakhiri aturan 'satu partai' dan mengatasi kekerasan suku dan etnis yang mematikan yang pecah pada tahun 2007 dan melanda negara itu selama beberapa bulan.

"Warga Kenya memilih untuk tidak mendefinisikan kebencian dari masa lalu," kata Obama. "Anda memilih jalan sejarah yang lebih baik."

Presiden Obama mengatakan keberhasilan Kenya masa depan tergantung pada tiga pilar penting: Menolak konflik demi rekonsiliasi dan masa depan yang damai, pemerintahan yang kuat dan demokratis yang transparan, pembangunan ekonomi universal, dan rasa identitas nasional yang kuat.

Obama mendesak negara tersebut untuk meningkatkan upaya untuk membasmi korupsi, mengatakan "setiap lembaran uang yang dibayar sebagai suap, dapat dimasukkan ke dalam kantong seseorang yang melakukan pekerjaan yang jujur."

Obama memberikan perhatian khusus untuk kesetaraan gender, mengatakan "Kenya tidak akan berhasil jika memperlakukan anak perempuan dan perempuan sebagai warga kelas dua."

Presiden Obama mengakhiri hari yang sibuk di Nairobi, Sabtu (25/7) di sebuah jamuan makan malam kenegaraan yang diselenggarakan oleh Kenyatta.

Obama mencatat bahwa ayahnya yang kelahiran Kenya dan ayah Kenyatta saling mengenal satu sama lain. "Ini mungkin merupakan hal sulit bagi mereka untuk membayangkan bagaimana anak-anak mereka dapat duduk di sini hari ini," kata Presiden Obama.

Ia juga bercanda sambil mengatakan "beberapa kritikus saya di Amerika menyarankan bahwa saya harus kembali ke sini untuk mencari akte kelahiran saya," sebuah referensi untuk menampik tuduhan bahwa dia bukan warga negara kelahiran AS, yang akan membuatnya secara konstitusional tidak memenuhi syarat untuk menjadi presiden.

Laporan ini merupakan kontribusi dari reporter VOA Gabe Joselow, Anita Powell, Arash Arabasadi dan Vincent Makori.

Recommended

XS
SM
MD
LG