Tautan-tautan Akses

Menjaga Kejayaan Rempah dan Cengkeh Indonesia


Petani, pelaku bisnis dan akademisi mendirikan Asosiasi Rempah dan Cengkeh ASEAN (ARCA) di Yogyakarta (3/12)
Petani, pelaku bisnis dan akademisi mendirikan Asosiasi Rempah dan Cengkeh ASEAN (ARCA) di Yogyakarta (3/12)

Gabungan organisasi petani rempah dan cengkeh, akademisi, peneliti dan pedagang yang bergerak di komoditas tersebut mendeklarasikan berdirinya Asosiasi Rempah dan Cengkeh Asean, 3 Desember 2014 di Yogyakarta.

Rempah-rempah dan cengkeh adalah alasan negara-negara Barat datang ke Indonesia. Sejak abad ke-13, Indonesia terutama kawasan Maluku adalah penghasil rempah dan cengkeh terkenal di dunia.

Untuk menjaga kejayaan rempah dan cengkeh Indonesia, sejumlah organisasi petani cengkeh dan rempah, akademisi dan pebisnis komoditas ini mendirikan Asosiasi Rempah dan Cengkeh ASEAN (ARCA), yang diresmikan di Yogyakarta, Rabu, 3 Desember 2014.

I Ketut Budhyman, ketua ARCA kepada VOA mengatakan, asosiasi ini berkomitmen mendorong kerja sama lebih erat dengan berbagai pihak untuk menjaga komoditas rempah dan cengkeh Indonesia dan melindungi petani.

“Jadi dalam hal ini kita harus menjaga kebutuhan berapa, suplai berapa. Jadi seumpama kebutuhan pasar 1.000 ton, ya kita kalau bisa memproduksinya 1.000 ton saja biar harganya bagus. Harga itu tidak akan terlalu tinggi, dan juga tidak akan terlalu rendah. Kita akan bersinergi dengan sektor perkebunan juga Badan Pusat Statistik, untuk menemukan satu angka produksi yang paling mendekati ideal,” kata I Ketut Budhyman.

Asosiasi juga akan menggalang kerja sama di tingkat ASEAN, karena Indonesia, Malaysia, Myanmar, Vietnam dan Filipina adalah pusat industri rempah dan cengkeh. Kedua komoditi ini menjadi penopang untuk industri bumbu masakan, bahan kue, produk obat-obatan, kesehatan, kecantikan, permen serta rokok kretek.

Buang Kurniawan, petani sekaligus Ketua Asosiasi Petani Cengkeh Indonesia (APCI) Jombang, Jawa Timur meminta ARCA mampu mensejahterakan petani. Harga cengkeh, saat ini yang mencapai Rp 130.000 per kilogram dinilai sangat layak bagi petani. Karena itu, Buang Kurniawan berharap ARCA mampu mengerem ekspansi perkebunan cengkeh, agar tidak terjadi kelebihan produksi, seperti yang terjadi di era Orde Baru.

“Dan petani senang dengan harga saat ini, maka yang diharapkan bukan perluasan lahan, tetapi yang diinginkan adalah intensifikasi dan peremajaan pohon saja. Maka jangan sampai pemerintah membuat kebijakan, mengijinkan kebun-kebun besar ditanami cengkeh. Malah nanti tidak laku lagi, jadi biar tetap perkebunan rakyat saja. Dengan berkurangnya perokok, maka akan mempengaruhi juga pemasaran cengkeh. Karena 93 persen cengkeh itu konsumennya adalah pabrik rokok,” jelas Buang Kurniawan.

Dengan 73 ribu ton produksi cengkeh pertahun, Indonesia adalah produsen terbesar di dunia untuk komoditas ini. Dari jumlah itu, 5 ribu ton diantaranya diekspor dan menghasilkan devisa lebih dari 25 juta dolar AS.

Konsumen terbesar di Indonesia adalah industri rokok kretek, dan karena itulah ARCA akan mendorong dilakukannya riset bersama perguruan tinggi, agar penurunan konsumsi rokok di Indonesia tidak menghantam petani cengkeh di tahun-tahun mendatang.

Recommended

XS
SM
MD
LG