Tautan-tautan Akses

Aktor Matt Dillon Arahkan Mata Dunia ke Rohingnya


Aktor Amerika Matt Dillon (kanan) bersama Noor Alam, seorang penyintas Rohingya (17 tahun) di desa Thetkabyin, utara Sittwe, Rakhine barat, Myanmar (29/5).
Aktor Amerika Matt Dillon (kanan) bersama Noor Alam, seorang penyintas Rohingya (17 tahun) di desa Thetkabyin, utara Sittwe, Rakhine barat, Myanmar (29/5).

Aktor Hollywood Matt Dillon mengarahkan mata dunia dengan mengunjungi warga Muslim Rohingya di kamp-kamp pengungsi yang kumuh dan panas yang menampung puluhan ribu pengungsi korban kekerasan, dan sebuah pelabuhan yang telah menjadi salah satu lokasi pusat eksodus mereka melalui laut.

"Sangat mengharukan," kata Matt Dillon, setelah bertemu dengan seorang pria muda yang terluka di kakinya dan tidak memiliki obat untuk merawat lukanya.

Para ibu membawa bayi-bayi mereka yang terlihat jelas memiliki tanda-tanda kekurangan gizi, berdiri lesu di balik gubuk-gubuk bambu, dan para balita yang bermain di dekat mereka di tengah debu putih kapur.

“Tidak ada seorangpun yang harus hidup menderita seperti ini," kata Dillon, salah seorang dari gelombang pertama para selebritis yang mendapat kesempatan untuk meninjau kehidupan warga Rohingnya di bagian barat negara bagian Rakhine. “Mereka seperti sedang dicekik perlahan, tidak memiliki harapan untuk masa depan dan tidak memiliki tempat untuk pergi," lanjutnya.

Meskipun Rohingya telah menjadi korban diskriminasi yang disponsori negara selama beberapa dekade, kondisi mulai memburuk tiga tahun lalu setelah negara berpenduduk 50 juta orang yang warganya mayoritas beragama Buddha tersebut mulai bergejolak akibat transisi pemerintahan dari setengah abad penguasa diktator ke pemerintahan demokratis.

Memanfaatkan kebebasan berekspresi yang baru dapat dinikmati, biarawan radikal mulai mengobarkan kebencian dalam masyarakat terhadap para pemeluk agama minoritas.

Ratusan telah dibunuh oleh massa pemegang parang dan seperempat juta orang sekarang hidup dalam kondisi apartheid seperti di kamp-kamp, atau telah melarikan diri dengan perahu dengan kondisi dehidrasi seperti para pengungsi Rohingya yang kelaparan dan terhempas ke pantai Asia Tenggara dalam beberapa pekan terakhir.

Kewarganegaraan mereka ditolak, yang berarti tidak memiliki hak-hak dasar sebagai warga negara. Dengan semakin terpinggirkannya mereka, beberapa kelompok memperingatkan bahwa ini dapat menjadi akar genosida.

"Saya tahu itu kata yang sangat sensitif," kata Dillon, yang memakai t-shirt hitam ciri khasnya dan celana jeans. "Tapi ada perasaan yang sangat tidak menyenangkan di sini," lanjutnya​.

"Saya pernah mengunjungi beberapa tempat di mana ancaman kekerasan lebih kentara," jelas Dillon, yang juga telah mengunjungi kamp-kamp pengungsi di Sudan, Kongo dan di tempat lain. "Di sini, ada sesuatu yang lain. Rasanya lebih seperti melihat orang-orang yang akan dibiarkan menderita dan mati."

Dillon mengatakan ia memutuskan untuk datang ke Myanmar seusai menghadiri acara penggalangan dana pengungsi internasional yang diprakarsai oleh aktivis Rohingya Thun Khin di Washington, D.C., lebih dari sebulan lalu. Saat mempromosikan serial televisi baru, "Wayward Pines" di Jepang, Dillon memutuskan waktu yang baik untuk melakukan perjalanan ke Myanmar.

"Ada orang-orang yang bekerja di sini, mereka yang mengetahui lebih banyak mengenai isu ini daripada saya," kata Dillon setelah mendengarkan berbagai keluhan dari para pekerja bantuan. "Tapi dengar, bila saya dapat gunakan suara saya untuk menarik perhatian, mengenai orang-orang yang menderita,

Ia bercakap-cakap dengan dua remaja pria yang mencoba melarikan diri dengan perahu, namun kemudian jatuh ke tangan pedagang manusia, dan pernah dikejar oleh petugas keamanan saat mencoba mengambil foto salah satu daerah Rohingya di ibukota negara bagian - sebuah kawasan kumuh yang dikelilingi tembok tinggi lengkap dengan kawat berduri.

Tapi yang membuatnya amat sedih adalah kondisi kamp-kamp pengungsi: "Pengaruhnya bagi saya lebih dari yang saya kira."

Walaupun ada tanda-tanda jelas bahwa lembaga-lembaga kemanusiaan bergerak aktif seperti terlihat dari kakus-kakus baru, pompa air di lokasi strategis, selokan terbuka dari beton - ia melihat perbedaan yang kontras antara kamp di sini dengan yang ia kunjungi di Sudan dan Kongo, bahwa ia tidak berpapasan dengan satupun pekerja bantuan dari Barat pada kunjungannya selama dua hari.

"Tidak ada suara gemuruh truk LSM lewat dengan peralatan medis, makanan atau perlengkapan lainnya - terutama karena adanya pembatasan pemerintah akibat tekanan dari ekstrimis Buddha terhadap badan-badan bantuan," lanjutnya.

“Banyak sekali orang yang menderita di sini” imbuh Dillon. “Saya sangat senang dapat memiliki kesempatan untuk datang dan melihat sendiri apa yang tengah terjadi di sini.”

XS
SM
MD
LG