Tautan-tautan Akses

15 Tahun Berlalu, Tragedi Mei Belum Tuntas


Sekitar 300 warga turun ke jalan pada 1999 membawa foto-foto kerabat yang tewas dalam kerusuhan Mei 1998. (Foto: Dok)
Sekitar 300 warga turun ke jalan pada 1999 membawa foto-foto kerabat yang tewas dalam kerusuhan Mei 1998. (Foto: Dok)

KontraS menilai belum tuntasnya kasus-kasus yang terjadi pada Tragedi Mei 98 disebabkan karena tidak adanya komitmen yang tinggi dari presiden.

Lima belas tahun sudah tragedi Mei berlalu, Namun hingga kini pengungkapan atas kasus tersebut belum kunjung terlihat.

Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Haris Azhar mengatakan Senin (13/5), belum tuntasnya kasus-kasus tersebut disebabkan karena kurangnya komitmen dari pemerintah.

Menurut Haris, semenjak reformasi hingga kini, Presiden Yudhoyono merupakan pemimpin Indonesia yang paling lama berkuasa tetapi tidak ada kontribusi yang diberikannya terhadap agenda-agenda reformasi, termasuk penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM.

Selain itu, lanjut Haris, kemandekan kasus ini juga dikarenakan lemahnya kontrol yang diberikan Dewan Perwakilan Rakyat terhadap pemerintahan yang berkuasa. Untuk itu, kata Haris Indonesia memelukan pemimpin yang berani melakukan penegakan hukum terutama terhadap aktor-aktor negara yang melakukan kejahatan.

“Kalau SBY lihat saja, dia tidak berani tangannya kotor, dia menggunakan tangan orang untuk melakukan sesuatu. Dari situ saja sudah kelihatan hipokrasi dia apalagi dia mau berantas, tuntas kasus itu, tidak berani dia,” ujarnya.

“Menurut saya ada salah kaprah di masyarakat ketika memilih presiden yang bekas tentara. Bukan ketegasan itu yang kita cari, ketegasan yang kita cari ketegasan melakukan penegakan hukum, bukan pada status orang bekas tentara, bekas ini, bekas itulah. Yang kita cari justru orang yang memiliki komitmen penuntasan kasus kasus itu.”
Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Andi Yentriyani menyatakan penuntasan kasus-kasus ini sangat penting bagi para korban dan keluarganya serta untuk memberikan efek jera kepada para pelaku sehingga kejahatan kemanusiaan seperti itu tidak terjadi lagi di masa yang akan datang.

Andi mengatakan para korban pemerkosaan massal yang terjadi pada 1998 hingga kini masih menderita dan hidup dengan trauma. Untuk itu, Komnas Perempuan meminta pemerintah segera melakukan upaya pemulihan terhadap para korban peristiwa pemerkosaan massal yang kebanyakan keturunan Tionghoa, ujar Andi.

Selain itu, proses hukum terhadap para pelaku pemerkosaan dan kekerasan seksual lainnya juga harus segera dilakukan dengan mengamandemen Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana.

“Untuk tragedi Mei 98 karena ada kasus pemerkosaan di dalamnya kalau KUHP nya tidak diubah maka tidak mungkin ada keadilan bagi korbannya. Jadi kita berharap Indonesia mengadopsi definisi perkosaan yang dikembangkan pengadilan internasional,” ujarnya.

Dalam KUHP, kekerasan terhadap perempuan hanya menyertakan pasal pencabulan dan pemerkosaan, dengan definisi dan criteria yang sempit, ujar Andi. Padahal standar internasional memiliki 20 kriteria kekerasan terhadap perempuan, tambahnya.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia telah menyerahkan enam berkas hasil penyelidikannya kepada Kejaksaan Agung diantaranya kasus Trisakti, Semanggi I dan II tetapi hingga kini Kejaksaan Agung belum menindaklanjutinya.

Recommended

XS
SM
MD
LG