Tautan-tautan Akses

Krisis Rohingya Tunjukkan ASEAN Tak Bergigi


Polisi bersenjata berjaga-jaga dalam kunjungan Duta Besar Bangladesh untuk Indonesia Md. Nazmul Quaunine di tempat penampungan di Langsa, Aceh (17/5). (AP/Binsar Bakkara)
Polisi bersenjata berjaga-jaga dalam kunjungan Duta Besar Bangladesh untuk Indonesia Md. Nazmul Quaunine di tempat penampungan di Langsa, Aceh (17/5). (AP/Binsar Bakkara)

Krisis tersebut merupakan salah satu ujian terbesar bagi ASEAN sejak Perang Vietnam, terkait kemampuan melindungi nyawa para migran dan sejauh mana kelompok tersebut dapat mengkonfrontasi salah satu anggotanya.

Asosiasi Negara-negara Asia Tenggara (ASEAN) telah menyatakan tidak akan menekan para negara anggota atas isu-isu internal seperti penyalahgunaan hak, dan dalam kasus penganiayaan terhadap minoritas Rohingya di Myanmar, kebijakan tersebut telah menghantui lembaga ini.

Tiga negara ASEAN lainnya -- Indonesia, Malaysia dan Thailand - sekarang harus menghadapi krisis kemanusiaan yang melibatkan ribuan migran Rohingya dan Bangladesh yang terdampar di pantai-pantai mereka. Setelah bertahun-tahun mengabaikan isu tersebut, peluang mereka untuk menggunakan diplomasi untuk mengubah sikap Myanmar tampak suram.

Krisis tersebut merupakan salah satu ujian terbesar bagi asosiasi beranggotakan 10 negara tersebut sejak Perang Vietnam, terkait kemampuan melindungi nyawa para migran dan sejauh mana kelompok tersebut dapat mengkonfrontasi salah satu anggotanya, dalam hal ini Myanmar.

Taruhannya tinggi untuk ASEAN, mengingat perhatian global terhadap krisis ini dan kemungkinan banyaknya migran yang mati jika tidak ada negara yang menampungnya.

"Ini ujian untuk ASEAN, untuk keberlangsungan ASEAN. Legitimasinya bergantung pada hal ini, bagaimana isu ini diselesaikan," ujar Charles Santiago, anggota Parlemen Malaysia dan kepala kelompok anggota legislatif regional yang mendorong hak asasi manusia, yang telah berbicara mengenai perlunya menyelamatkan para pengungsi dan migran yang mengapung di perairan Selat Malaka.

Prinsip kuat untuk tidak melakukan intervensi terlihat mulai goyah.

Wakil Perdana Menteri Malaysia Muhyiddin Yassin mengatakan akhir pekan lalu bahwa Myanmar seharusnya mengambil tanggung jawab untuk menyelesaikan ketegangan etnis dengan Rohingya untuk mencegah anggota-anggota ASEAN lainnya terbebani, menurut kantor berita Bernama.

Rohingya di Myanmar telah dianiaya selama bertahun-tahun, dan semakin parah sejak 2011, ketika junta militer yang lama berkuasa memberi jalan pada pemerintahan yang dipilih secara nominal. Lebih dari 120.000 warga Rohingya telah melarikan diri dari negara itu sejak 2012 karena preman Budhis telah membunuh sampai 280 dari mereka dan mengusir puluhan ribu dari rumah mereka.

Di Thailand, para pemimpin mengatakan krisis migran bukanlah masalah mereka namun perlu diatasi "negara asal." Myanmar bahkan menolak menggunakan kata "Rohingya," dengan mengatakan kelompok itu secara ilegal bermigrasi dari Bangladesh, meski Rohingya telah tinggal di Myanmar selama bergenerasi lamanya.

Kementerian Luar Negeri Myanmar mengatakan dalam pernyataan tertulis yang dirilis Selasa (19/5) bahwa mereka "sama prihatinnya dengan krisis migran" dan akan berpatroli di perairannya dengan pesawat dan kapal laut untuk "menyelamatkan mereka yang kesulitan."

Namun Myanmar menyangkal mereka merupakan sumber krisis tersebut dan tampak enggan bergabung dalam pembicaraan regional pada 29 Mei untuk membahas hal tersebut.

Menteri-menteri luar negeri Malaysia, Indonesia dan Thailand dijadwalkan mengadakan pertemuan terpisah Rabu di Kuala Lumpur.

Namun para ahli ragu menteri-menteri ini akan terlalu kritis terhadap Myanmar, yang hanya akan menggarisbawahi reputasi ASEAN sebagai tidak bergigi. Kemungkinan besar fokusnya ada pada pengelolaan krisis dan tidak pada akar masalah.

"Ini akan memperlihatkan impotensi ASEAN," ujar Thitinan Pongsudhirak, ilmuwan politik dan direktur dari Lembaga Studi Keamanan dan Internasional di Chulalongkorn University di Bangkok.

"Ini cerminan lain dari kohesi ASEAN yang tidak efektif."

Kelompok Parlementer ASEAN untuk HAM, yang dipimpin Charles Santiago dari Malaysia, telah menuntut ASEAN untuk menghapus kebijakan tidak mengintervensi, dan minggu lalu mengeluarkan pernyataan bahwa pemerintah Myanmar harus bertanggung jawab atas penganiayaan Rohingya.

Santiago yakin Myanmar akan lebih tanggap terhadap tekanan dari China, AS dan investor-investor lainnya terkait kebijakannya terhadap Rohingya.

"Sejauh ini kelihatannya ASEAN tidak dapat menanggapi krisis kemanusiaan yang melibatkan rakyatnya sendiri," ujarnya.

"Namun untuk adilnya, kita lihat dalam dua, tiga hari ke depan. Ketakutan saya hanyalah bahwa sebelum keputusan dapat diambil, lebih banyak orang akan mati."

XS
SM
MD
LG